TRIBUNNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan yang tengah digodok oleh DPR dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dimana turut mengatur perihal tembakau telah menimbulkan polemik di masyarakat.
Di antaranya yang paling menonjol adalah pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau.
Dalam draft usulan RUU Kesehatan tersebut, khususnya Pasal 154 Ayat 3 tertulis "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat berupa: (a) narkotika; (b) psikotropika; (c) minuman beralkohol; (d) hasil tembakau; dan (e) hasil pengolahan zat adiktif lainnya".
Pasal tersebut secara tegas menyamakan hasil olahan tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair dengan zat adiktif yang terdapat dalam narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.
Baca juga: Polemik RUU Kesehatan, Nakes Ancam Lakukan Aksi Mogok Nasional hingga Reaksi Kemenkes
Vita Ervina, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan menyamakan tembakau dan narkotika dalam satu definisi kelompok zat adiktif itu terlalu berlebihan.
Tembakau adalah tanaman yang legal.
Produksinya, peredaran dan penggunaannya pun legal.
Nikotin yang terkandung dalam tembakau merupakan zat adiktif yang sah, begitupula kafein pada kopi, teh dan minuman energi.
"Zat adiktif pada rokok tidak sebanding dengan zat adiktif yang terdapat pada narkotika seperti morfin, heroin, kokain dan ganja," kata Vita Ervina dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Selasa (9/5/2023).
Lebih jauh, Vita Ervina menyebut pasal kontroversial lainnya adalah Pasal 154 Ayat 5 yang berbunyi "Produksi, peredaran dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 huruf (d) dan huruf (e) harus memenuhi standar dan atau persyaratan kesehatan".
Ia mempertanyakan mengapa hanya hasil tembakau dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya yang harus memenuhi standar dan persyaratan kesehatan.
Sedangkan untuk narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol tidak disebutkan.
"Pasal ini jelas sangat diskriminatif dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi petani, pekerja, buruh, konsumen atau seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT). Jika pasal ini diloloskan, maka itu sama saja memberi predikat buruk bahwa petani tembakau sama dengan petani ganja," ujarnya.
Karena itu, Vita Ervina meminta agar pasal yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan miras dalam RUU Kesehatan agar dihapus.
Dikatakannya, petani tembakau adalah salah satu penyumbang devisa.
Tembakau memberikan konstribusi yang sangat besar bagi perekonomian nasional.
Baca juga: Deretan Manfaat RUU Kesehatan yang Ditawarkan Pemerintah kepada Dokter dan Nakes
Penerimaan APBN dari cukai rokok pada tahun 2023 mencapai 218 triliun rupiah.
Jika ditambah dengan pajak tembakau bisa mencapai 280 triliun. Tapi nasib kesejahteran petani dan buruh tembakau masih memprihatinkan.
Sebagai anggota DPR RI dari Dapil Jateng VI yang berada di daerah sentra penghasil tanaman tembakau yaitu Temanggung, Wonosobo dan Magelang, dirinya berharap RUU Kesehatan yang disusun tidak menimbulkan kerugian bagi ekosistem industri hasil tembakau dan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan aspek kesejahteraan ekonomi masyarakat. (*)