Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKS DPR RI meminta pembahasan meminta pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan atau omnibus law kesehatan dilakukan secara transparan dan tidak terburu-buru.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher, merespons aksi unjuk rasa yang dilakukan para dokter dan tenaga kesehatan yang menolak RUU Kesehatan.
"Kami berusaha memberikan ruang pada pihak-pihak terkait untuk memberi masukan agar tidak ada kesan pembahasan dilakukan sembunyi-sembunyi. Salah satunya adalah melalui kegiatan PKS Mendengar," kata Netty kepada wartawan, Selasa (9/5/2023).
Fraksi PKS, kata Netty, akan terus mengawal proses pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law yang sekarang tengah digodok Panja Komisi IX DPR RI.
"Kami sangat terbuka dengan masukan dari para tenaga medis, organisasi profesi, organisasi rumah sakit dan pemangku kepentingan lain yang terkait," ucapnya.
Netty mengatakan, dengan proses pembahasan yang maraton ini, Panja RUU berusaha semaksimal mungkin melakukan perbaikan terhadap pasal-pasal yang dianggap krusial.
"Salah satu tuntutan unjuk rasa adalah penguatan terhadap naskah akademik, baik dari aspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya. Selain itu, regulasi ini diminta benar-benar mencerminkan tanggung jawab negara terhadap jaminan kesehatan rakyat melalui peningkatan mutu pelayanan kesehatan," ujarnya.
Selain itu, Netty juga berjanji akan memperhatikan penguatan peran organisasi profesi dalam sistem kesehatan.
"Organisasi profesi memiliki peran yang strategis dalam sistem kesehatan Indonesia. Peran ini harus diperkuat agar dapat berjalan dengan baik, memberikan manfaat pada para anggotanya dengan pembinaan yang menjamin kualitas, kompetensi dan etika profesional," tandasnya.
Sebelumnya, lima organisasi profesi turun ke jalan untuk menolak RUU Kesehatan pada Senin (08/05/2023).
Mereka melakukan aksi damai di Monas, Jakarta Pusat.
Adapun lima Organisasi profesi tersebut yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Berikut poin-poin penting yang disoroti dalam RUU Kesehatan tersebut.
1. Pro Dokter dan Tenaga Kesehatan Asing
Baca juga: VIDEO Bukan Hanya Indonesia, Dunia Juga Kekurangan Tenaga Kesehatan
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) DR Harif Fadillah, S.Kp., M.Kep menyebut, RUU kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat/nakes dan masyarakat, mendegradasi profesi keaehatan dalam sistem kesehatan nasional.
Serta berpotensi memperlemah peran masyarakat madani dalam iklim demokrasi di Indonesia dengan upaya memecah belah organisaai profesi yang mengawal profesionalisme anggota, dan lebih mementingkan tenaga kesehatan asing.
“Kami juga mengimbau kepada seluruh anggota Organisasi Profesi untuk tetap solid memperjuangkan kepentingan profesi dan masyarakat,” kata Harif.
Ditambahkan, Ketua Biro Hukum dan Kerjasama Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), DR Paulus Januar S., drg, MS, CMC pihaknya juga mengkritisi pengecualian adaptasi terhadap dokter lulusan luar negeri dan pendidikan dokter spesialis secara hospital based dengan syarat dimana hanya perlu dilakukan di RS yang terakreditasi.
"Padahal selama ini pendidikan dokter spesialis dilakukan di RS dengan akreditasi tertinggi. Kedua hal tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan lahirnya tenaga Kesehatan yang sub standar. Bila Hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya profesi tapi yang lebih dirugikan adalah Kesehatan masyarakat yang dilayani,” kata drg.Paulus.
2. Ikatan Kerja dan Kesejahteraan
Lima Organisasi Profesi medis ini juga mengungkapkan cukup banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan ikatan kerja yang tidak jelas hingga tidak ada jaminan dalam menjalankan pekerjaan profesinya.
RUU Kesehatan Omnibuslaw
Dianggap tidak memberikan jaminan hukum mengenai kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan, bahkan juga tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan.
Wakil Ketua II, PB IDI dr Mahesa Paranadipa Maikel, MH, mengatakan, hal itu tidak pernah dijalankan di lapangan.
Misalnya saja, kekerasan terhadap dokter internship yang terjadi di Lampung baru-baru ini, dan yang beberapa waktu lalu terjadi terhadap Prof dr Zaenal Mutaqqin, PhD, SpBS(K), dokter spesialis bedah saraf dengan keahlian langka, namun karena sikap kritisnya ternyata dapat dihentikan kontrak kerjanya di RS Karyadi Semarang.
“Kalau terhadap seorang guru besar dan dokter spesialis konsultan dengan reputasi internasional dapat diperlakukan demikian, bagaimana dengan tenaga kesehatan yang lebih lemah posisinya. Ternyata pada RUU Kesehatan tidak melindungi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan kepastian dalam menjalankan pekerjaan profesinya,” tegas dokter Mahesa.
3. Akses Pelayanan Kesehatan
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya 38 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan dasar.
Hal ini sebagian disebabkan kurangnya infrastruktur dan sumber daya di daerah pedesaan.
Karena itu diperlukan perluasan fasilitas dan layanan kesehatan di daerah-daerah tersebut, serta peningkatan pembiayaan untuk kesehatan.
“Banyak tenaga kesehatan yang bersedia bertugas di tempat-tempat terpencil, namun tidak dapat bekerja secara maksimal karena minimnya sarana baik fasilitas kesehatan maupun akses menuju faskes yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Belum lagi masih tidak jaminan perlindungan dan keselamatan para tenaga kesehatan saat bertugas dari pemerintah setempat dan pusat,” Sekjen Ikatan Bidan Indonesia (IBI) kata DR Ade Jubaedah.
Baca juga: Tanggapi RUU Kesehatan, Syarief Hasan: Harus Mengakomodir Aspirasi Tenaga Kesehatan
Wakil Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia. Apt. Dra tresnawati mengungkap, ada dua alasan yang membuat lima organisasi profesi ini melakukan aksi.
Pertama pembahasan RUU ini yang dari awal banyak yang disembunyikan dan sangat terburu-buru tanpa memperhatikan masukan dari Organisasi Profesi Kesehatan Medis.
Kedua, ada upaya untuk mengadu domba memecah belah masyarakat profesi yang akan sangat merugikan masa depan kesehatan.
"Keberadaan Organisasi Profesi Kesehatanyang selama ini mengabdi bagi negeri tidak diterima masukannya,” kata dia dalam konferensi pers, yang dikutip Senin (08/05/2023).
Pihaknya menilai, pentingnya kolaborasi yang lebih baik antara berbagai pemangku kepentingan di sektor kesehatan, termasuk lembaga pemerintah, organisasi profesi, dan kelompok masyarakat sipil.
"Dengan bekerja sama, semua pihak dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam layanan kesehatan di Indonesia," ucap Dra Tresnawati.