TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah kesibukannya turun ke bawah menemui masyarakat, memenuhi undangan adat dan agama di desa-desa, Kabupaten Tabanan, Bali, yang alamnya asri dengan suasana kehidupan pertaniannya yang masih alami, tiba-tiba I Made Urip tertegun.
Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan itu membaca berita yang memuat pernyataan Mahfud MD.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) itu menilai korupsi di Indonesia semakin parah.
Hal itu terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang anjlok pada 2022 menjadi 38 dari sebelumnya 34.
Mahfud kemudian menyinggung transaksi di bawah meja di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Menurut Mahfud, pemicu dari maraknya korupsi di Indonesia adalah "conflict of interest" (konflik kepentingan) para pejabat baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Baca juga: Kemenkeu Akui Indeks Korupsi Indonesia Masuk Zona Merah
"Jika menbaca pernyataan Prof Mahfud, kita semua memang prihatin," kata I Made Urip saat dihubungi wartawan dari Jakarta, Minggu (11/6/2023).
Selain melibatkan trias politika, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, kata Made Urip, swasta juga banyak yang terlibat korupsi.
"Bahkan kerugian negara yang ditimbulkan tidak hanya dalam bilangan miliar, tapi triliun bahkan puluhan triliun rupiah," kata Made Urip yang juga Ketua DPP PDIP.
Baca juga: 4 Rekomendasi TII atas Turunnya Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Ia lalu merujuk contoh tiga kasus korupsi dengan jumlah kerugian negara terbesar di Indonesia, yakni korupsi penyerobotan lahan kelapa sawit di Indragiri Hulu, Riau, yang melibatkan Surya Darmadi dengan kerugian negara mencapai Rp78 triliun. Lalu korupsi PT Asabri senilai Rp23 triliun, dan korupsi PT Jiwasraya dengan kerugian negara Rp17 triliun.
Secara total ketiga kasus tersebut membuat negara rugi hingga Rp118 triliun.
Angka tersebut sedikit lebih kecil dari kerugian negara akibat penyelewengan dana Bantuan Likuidutas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai Rp138 triliun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000.
Belakangan, ada kasus korupsi yang melibatkan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate saat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp8 triliun lebih.
"Itu semua membuat kita prihatin," tegas wakil rakyat asal Bali yang sudah lima periode berkantor di Senayan, Jakarta, ini.
Made juga tidak menampik sinyalemen Mahfud MD bahwa pemicu maraknya korupsi di Indonesia adalah konflik kepentingan.
Made kemudian teringat akan puisi atau serat "Kalatidha" (1860) karangan pujangga terakhir Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah, Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802-1873) yang berbunyi, "Amenangi jaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu édan nora tahan, yén tan melu anglakoni, boya kaduman mélik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lawan waspada."
Artinya, "Berada pada zaman gila, serba salah dalam bertindak. Ikut-ikutan gila tidak akan tahan, tetapi kalau tidak mengikuti arus, tidak kebagian, (lalu) jatuh miskin pada akhirnya. Tetapi Allah Maha Adil. Sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada."
"Banyak godaan di Senayan, memang. Mudah-mudahan kita bisa selamat hingga akhir pengabdian. Kuncinya satu, eling lan waspada," kata Made Urip.
Ia juga merujuk ajaran agamanya, Hindu, yakni Tri Kaya Parisudha yang melarang korupsi.
Tri Kaya Parisudha, jelas Made, meliputi "manacika" (berpikir yang baik), "wacika" (berkata yang baik), dan "kayika" (berbuat yang baik).
Plus, lanjut Made, "satya wacana", yakni satunya kata dengan perbuatan, di mana ada ketulusan dan kejujyran dalam melaksanakan tugas, serta ingat akan hukum karma, di mana kalau kita berbuat baik, maka kita akan mendapatkan karma yang baik, demikian pula sebaliknya.
"Jika kita berpegang teguh pada Tri Kaya Parisudha, plus 'satya wacana' dan hukum karma, ditambah serat Kalatidha dari Ronggo Warsito tadi, yakni eling lan waspada, di mana pun kita mengabdi, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif bahkan swasta sekalipun, niscaya akan selamat. Kita akan mampu mengendalikan diri dari konflik kepentingan yang menyebabkan korupsi," tandasnya.