TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan 43 persen program pembangunan sebagaimana laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berpotensi tidak optimal.
Angka tersebut kata Jokowi merupakan angka yang sangat besar sekali.
"Ini perlu saya ingatkan kepada semuanya baik pusat maupun daerah dalam penggunaan yang namanya anggaran, karena 43 persen itu bukan angka yang sedikit," kata Jokowi dalam pembukaan Rakornas pengawasan intern pemerintah tahun 2023, di Kantor BPKP, Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Kondisi tersebut kata Presiden karena cara penganggaran yang tidak benar.
Presiden mengaku banyak menemukan kesalahan penganggaran yang dilakukan daerah dalam menjalankan program.
Misalnya kata Presiden anggaran pengentasan stunting sebesar Rp10 miliar. Anggaran tersebut mayoritas habis digunakan untuk perjalanan dinas, rapat dan sebagainya.
"Saya baru saja minggu yang lalu saya cek di APBD Mendagri, coba saya mau lihat Rp10 M untuk stunting. Dicek, Perjalanan dinas Rp3 M, rapat-rapat Rp3M, penguatan pengembangan apa-apa blablabla Rp2 M, yang untuk benar-benar beli telur itu engga ada Rp2 M. Kapan stuntingnya akan selesai kalau caranya seperti ini," kata Presiden.
Hal tersebut kata Jokowi harus diubah. Seharusnya anggaran Rp10 M untuk penanganan stunting, mayoritas digunakan untuk membeli barang konkret yang diberikan kepada mereka yang stunting. Sementara sisanya buat kegiatan penunjang.
"Kalau Rp10 M itu anggarannya, mestinya yang untuk lain-lainnya itu Rp2 M, yang untuk Rp8 M itu ya untuk langsung telor, ikan, daging, sayur, berikan ke yang stunting. Konkretnya kira-kira seperti itu," katanya.
Ada juga kata Presiden kasus di salah satu kabupaten atau kota di Indonesia dalam anggaran untuk pengembangan UMKM yang totalnya Rp2,5 miliar.
Dari total anggaran tersebut sebanyak Rp1,9 miliar dipergunakan untuk honor dan perjalanan dinas.
"Ke situ-situ terus, sudah. Itu nanti sisanya yang 0,6 M, yang 600 juta itu nanti juga masih muter-muter saja. Pemberdayaan, pengembangan, istilah-istilah yang absurd, engga konkret," katanya.
Seharusnya kata Presiden, anggaran tersebut digunakan untuk modal kerja, beli mesin produksi, marketing, pameran dan lainnya.
"Ini tugas BPKP, bapak ibu sekalian tugas BPKP sekarang sudah orientasinya ke situ. Orientasi hasil, arahkan daerah, pusat, semuanya, BUMN, Kementerian Lembaga hal-hal yang konkret. Biar apa? Produktif," katanya.
Baca juga: Tim Kemendagri Berikan Arahan Penganggaran dan Pembangunan Infrastruktur di Lampung
Tidak hanya sampai disitu, adalagi kata Presiden kasus di sebuah Kabupaten yang mana anggaran pembangunan balai penyuluh pertanian digunakan mayoritas untuk honor rapat dan perjalanan dinas. Anggaran pembangunan balai tersebut terbilang kecil yakni Rp 1 M. Namun anggaran yang kecil tersebut tetap saja tpenganggaran-nya tidak benar.
"Pembangunan balai untuk membangun dan merehab balai. Jelas. Anggarannya Rp1 M. Saya cek lagi ini apa kok Rp1 M, kecil, kecil pun saya lihat. Kecil ini mestinya untuk Rp1 M ya mestinya Rp900 juta untuk rehab. Mestinya. Tapi setelah kita cek bener, Rp734 juta itu honor, rapat, dan perjalanan dinas. Rp734 juta. Artinya 80 persen. ini sudah ga bisa lagi," katanya.
Oleh karenanya kata Presiden, menjadi tugas berat BPKP untuk mengubah cara penganggaran daerah agar mayoritas anggaran yang digunakan untuk hal konkret bukan absurd. Kewenangan BPKP kata Presiden ditakuti daerah dan dapat menjangkau hingga level kabupaten dan kota.
"Anggaran APBN, anggaran APBD itu produktif. Karena tangan BPKP itu sampai di provinsi, kabupaten dan kota. Artinya bisa mengawal bisa mengawasi, bisa mengarahkan. Dan yang ga di pusat, ga provinsi, kota dan kabupaten itu dengan BPKP itu takut. Segan dan takut. Gunakan ini untuk kebaikan negara," pungkasnya.