Namun, ia menurutnya mekanisme yang digunakan seperti pola penentuan calon anggota legislatif pada Pemilu 2004, yakni nama calon yang mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih.
Sementara itu, kata dia, nama calon yang tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan.
"Dengan begitu, pola ini tetap memberi ruang bagi masyarakat dalam menentukan wakilnya sepanjang mencapai angka BPP, dan tetap memberikan ruang bagi partai politik menentukan calonnya apabila tidak memenuhi angka BPP," sambung dia.
Selain ketiga varian tersebut, ia juga menawarkan varian lainnya yakni penerapan sistem proporsional tertutup dapat diberlakukan hanya untuk memilih calon anggota DPR RI, sedangkan calon anggota DPRD Provinsi Kabupaten/Kota dipilih berdasarkan sistem proporsional terbuka.
Tiga alternatif penetapan calon anggota legislatif tersebut, kata dia, merupakan opsi bagi penentuan calon anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka terbatas.
Sementara varian keempat, kata dia, penetapan sistem proporsional tertutup dan terbuka secara bersamaan, namun level penerapannya dibedakan.
"Opsi-opsi yang nantinya dipilih diserahkan kepada legal policy pembentuk undang-undang," kata Arief.
Selain itu, ia juga mengemukakan untuk menghindari kesan adanya oligarki dan politik transaksional dalam penentuan calon anggota legislatif oleh partai politik diperlukan beberapa hal.
Pertama, perlunya demokratisasi di dalam struktur partai politik, sehingga pola rekrutmen dan seleksi para calon anggota DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara yang objektif, partisipatif, akuntabel, dan transparan.
Kedua, diperlukan pula penguatan kaderisasi partai politik melalui pendidikan kader yang berjenjang selama minimal tiga tahun untuk calon anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan lima tahun untuk calon anggota DPR RI sehingga calon anggota legislatif yang terpilih betul-betul diusulkan dari proses kaderisasi yang matang.
Hal tersebut, kata dia, juga bertujuan untuk menghindari adanya fenomena “kutu loncat” dalam setiap pencalonan anggota DPR/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga kader-kader partai politik dapat menyerap ideologi partai dengan baik.
"Dengan demikian nantinya akan terpilih anggota legislatif yang benar-benar berasal dari kader-kader terbaik yang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat secara umum dan dapat menjalankan tugas sebagai legislator yang handal," kata Arief.
Sistem Proporsional Tertutup Ditolak
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.