Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, LEMBANG - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto buka suara terkait Belanda yang akhirnya resmi mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia.
Eks Danjen Kopassus itu mengaku bersyukur atas pengakuan Belanda tersebut. Dia pun juga mengapresiasi dan berterima kasih atas keputusan tersebut.
"Ya alhamdulillah terima kasih," kata Prabowo saat ditemui di Sespim Lemdikat Polri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (16/6/2023).
Prabowo menyampaikan kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan pada Agustus 1945. Artinya, tindakan militer Belanda pada 1945 hingga 1949 merupakan agresi militer.
Baca juga: Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
"Berarti ya setiap tindakan kemiliteran mereka adalah agresi, tapi resmi kita terima kedaulatan akhir tahun 49 hasil KMB (Konferensi Meja Bundar). Tapi alhamdulillah kalau dia mengakui sekarang," jelas Prabowo.
Kendati demikian, Prabowo mengaku pihaknya akan lebih bersyukur jika Belanda minta maaf atas perbuatannya selama menjajah Indonesia. Meskipun, dia memahami Raja Belanda sudah pernah meminta maaf.
"Syukur-syukur juga kalau dia minta maaf atas apa yang mereka buat selama itu di Indonesia. Tapi rajanya sudah minta maaf," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Belanda mengakui "sepenuhnya dan tanpa syarat" bahwa Indonesia merdeka dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945 -- pernyataan resmi pertama pemerintah Belanda setelah 78 tahun.
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengatakan hal tersebut di parlemen, pada Rabu (14/06), saat menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks terkait pengakuan terhadap kemerdekaan RI.
Rutte berjanji akan berkonsultasi dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo, untuk mencapai interpretasi bersama tentang hari kemerdekaan itu.
Baca juga: Begini Tanggapan Kemlu RI Setelah PM Belanda Akui Kemerdekaan RI Tanggal 17 Agustus 1945
"Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa keraguan). Saya masih akan mencari jalan keluar bersama presiden Indonesia, Joko Widodo untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak," ujar PM Rutte sebagaimana dikutip media Historia.
Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II.
Akan tetapi, pemerintah Kerajaan Belanda tidak pernah mau mengakui momen itu secara resmi.
Antara 1945 dan 1949, Belanda justru mengobarkan perang untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia.
Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia secara "de facto" sudah dimulai pada tahun 1945, tetapi Belanda secara resmi masih menggunakan tanggal 27 Desember 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengemuka ketika dia hadir dalam perdebatan mengenai hasil penelitian dekolonisasi di parlemen Belanda.
Sebanyak 15 anggota parlemen yang masing-masing mewakili partainya mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950".
Hasil penelitian yang dipublikasikan tiga lembaga Belanda medio Februari 2022 lalu, menyebutkan adanya kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur.
Pertama, soal aspek hukum. Penelitian itu cenderung menggunakan istilah "kekerasan ekstrem", bukan "kejahatan perang".
Kedua, soal tanggung jawab dan permintaan maaf pemerintah terhadap para korban dan veteran Belanda itu sendiri.
Ketiga, soal kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang yang dianggap penjahat perang.
PM Rutte yang hadir didampingi Menteri Luar Negeri, Wopke Hoekstra, dan Menteri Pertahanan, Kajsa Ollorongren, memberikan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem.
PM Rutte masih bersikeras menyebutnya kekerasan ekstrem alih-alih kejahatan perang, dengan mendasarkan pada Konvensi Jenewa 1949.
"Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis," tegas Rutte.