TRIBUNNEWS.COM - Apa itu malam 1 Suro?
Malam satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro, yang juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijiriah.
Malam satu Suro tahun ini jatuh pada hari Selasa, (18/7/2023), dan tanggal 1 Suro jatuh pada Rabu, (19/7/2023).
Dalam malam satu Suro ini dianggap sakral dan terdapat beberapa daerah melakukan tradisi, khususnya masyarakat Jawa.
Seperti halnya di Solo yang melakukan tradisi kirab pusaka oleh Keraton Surakarta Hadiningrat saat malam 1 Suro.
Baca juga: Gibran Akan Hadiri Undangan Malam 1 Suro di Keraton Solo
Sejarah Malam Satu Suro
Pada tahun 931 H atau 1443 tahun baru Jawa masa kerajaan Demak. Sunan Giri II melakukan perubahan sistem penanggalan Hijriyah ke penanggalan Jawa.
Dikutip dari laman Gramedia, Sultan Agung ingin persatuan rakyatnya bersatu untuk menyerang Belanda di Batavia (Jakarta) saat itu dan tidak ingin masyarakatnya terpecah belah, terutama pada keyakinan beragama.
Selain itu, Sultan Agung juga melakukan ziarah ke makam Ampel dan Giri selama hari Jumat.
Maka dari itu, malam satu Suro atau Muharram dimulai di hari Jumat Agung, yang mana dianggap menjadi hari yang sakral.
Asal-usul Kata Suro di Jawa
Suro merupakan sebutan bagi orang Jawa untuk bulan Muharram.
Masyarakat Islam Indoensia, terutama Jawa lebih mengenal nama Suro dibanding bulan Muharram.
Suro sendiri berasal dari kata Asyura yang artinya 10 di bulan Muaharram, kemudian orang Jawa menyebutnya Suro.
Dihimpun dari Buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa karya KH Muhammad Sholikhin, hal itu menjadikan Suro sebagai khazanah Islam-Jawa asku sebagai nama bulan poertama pada kalender Islam maupun Jawa.
Baca juga: 2 Contoh Teks Khutbah Jumat Sambut 1 Muharram 1445 Hijriah
Selain itu, kata Suro sendiri menunjukkan arti penting dalam 10 hari pertama bulan Suro/Muharram.
Adapun hari yang dianggap keramat adalah sejak tanggal 1-8 di bulan Suro/Muharram.
Terdapat dua hari keramat bagi keraton yang berhubungan dengan Islam, yakni acara Grebeg Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad di bulan Mulud atau Rabiul Awal dan perayaan bulan Suro.
Pada malam satu Suro kerap dilaksanakanya jamas pusoko (mencuci pusaka), ruwatan, serta sesajen agung, termasuk melakukan ritual Tapa Brata.
Sementara itu, bagi masyarakat Islam-Jawa sendiri ada bulan Suro menimbulkan kepercayaan bahwa tidak berani melaksanakan hajatan pernikahan.
Hal itu disebabkan masyarakat Islam-Jawa beranggapan bahwa bulan Suro/Muharram menjadi bulan yang paling agung dan mulia sebagai milik Allah SWT.
Namun bagi masyarakat Jawa melaksanakan hajatan pada bulan Suro hanya dapat dilakukan oleh raja atau sultan.
Sehingga bulan Suro/Muharram dianggap sebagai bulan hajatan bagi Keraton.
Sebagai informasi, sultan dianggap sebagai wakil Allah (khalifatullah) dimuka bumi dan memiliki gelar, seperti halnya di Yogyakarta yakni Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngaloga 'Abdurarahman Sayyidin Panotogomo Kalipatullah.
(Tribunnews.com/Pondra)