Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, digelar di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (26/7/2023).
Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon perkara 40/PUU-XXI/2023 (VI).
Baca juga: Hari Ini Partai Buruh Gelar Aksi di Patung Kuda, Kawal Sidang Lanjutan Uji Formil UU Cipta Kerja
Dalam persidangan, Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menyoroti ketidaktaatan konstitusional pembentuk UU terhadap UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Ahli mulanya mengatakan, perbedaan substantif antara dokumen UU Ciptaker dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 sangat tipis.
"Kalau kita komparasikan antara dokumen UU Cipta Kerja dengan Perppu yang keluar dan kemudian itu diundangkan menjadi UU Cipta Kerja, itu sebenarnya perbedaannya tipis sekali, sangat tipis, nyaris tidak banyak perbedaan substantif," kata ahli Zainal, saat menyampaikan keterangannya di persidangan, Rabu ini.
Baca juga: Buruh Tetap Tuntut Cabut UU Cipta Kerja dan Kenaikan Upah Minimum 15 Persen
Ia kemudian menjelaskan, dalam proses penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi UU, terdapat pergeseran dari pembentukan UU secara hukum tata negara biasa menjadi luar biasa.
Sehingga, menurutnya, pergeseran menjadi tata negara luar biasa tersebut, meniadakan syarat pembentukan UU yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yakni meaningful participation.
"Maka pertanyaan paling menariknya adalah, bagaimana ketaatan konstitusional ketika kita bicara soal UU yang harusnya melibatkan publik secara baik, tapi kemudian kewajiban UU dalam rezim hukum tata negara biasa ini digeser menjadi rezim hukum tata negara luar biasa, sehingga seakan-akan kewajiban partisipasi publik itu ditinggalkan. Seakan-akan membenarkan kewajiban partisipasi publik ditinggalkan," jelasnya.
"Kalau kita tarik ke dalam ini, ada satu urgensi besar dari pergeseran model Perppu, model yang seharusnya UU menjadi Perppu itu adalah dengan meniadakan yang namanya meaningful participation," sambungnya.
Padahal, Zainal mengatakan, meaningful participation atau partisipasi bermakna masyarakat merupakan sesuatu yang esensial dalam pembentukan UU.
Sebab, lanjut Zainal, hal ini juga menyangkut Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan di tangan rakyat.
Baca juga: Pakar Respons Alasan UU Cipta Kerja Diterbitkan karena Ada Kekosongan Hukum: Pemerintah Tidak Paham
"Ini bukan soal legislasi. Esensinya adalah soal pasal 1 UUD 1945, kedaulatan di tangan rakyat. Maka ketika mau buat Undang-Undang, rakyat harus tahu dan harus dibicarakan. Yang kemudian oleh MK secara luar biasa diterjemahkan sebagai meaningful participation dalam konteks right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya), right to be consider (hak untuk dipertimbangkan pendapatnya), dan right to be explain (hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan)," kata Zainal.
"Nah sayangnya kewajiban yang harusnya ada di rezim ini itu tiba-tiba digeser menjadi seakan-akan kedaruratan atau hukum tata negara luar biasa. Sehingga seakan-akan bisa menegasikan (meaningful participation)."
Sebagai informasi, sidang uji formil UU Ciptaker ini diikuti oleh para pemohon lainnya, yakni pemohon perkara 41, 46, 50, 40/PUU-XXI/2023.