TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menanggapi kasus operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota TNI aktif.
Politisi PDI Perjuangan (PDIP) ini menegaskan bahwa proses hukum kasus anggota TNI aktif harus dilakukan oleh POM TNI.
"Jadi dalam kasus KPK yang melakukan OTT terhadap anggota TNI aktif ya sah-sah saja dengan catatan penangkapan tersebut dilakukan secara spontan tanpa perencanaan. Lalu setelah penangkapan, harus langsung diserahkan ke POM TNI," kata TB Hasanuddin kepada wartawan, Sabtu (29/7/2023).
Dia menambahkan, bila dalam proses OTT tersebut membutuhkan waktu untuk penyelidikan dulu misalnya, maka perlu melakukan koordinasi dan melibatkan POM TNI.
"Proses hukum selanjutnya seperti pengembangan kasus dan juga penetapan tersangka anggota TNI aktif harus dilakukan oleh POM TNI sesuai dengan UU," tegasnya.
Lebih jauh, TB Hasanuddin mengungkapkan bahwa sesuai Undang-Undang ada 4 jenis pengadilan di Indonesia yakni pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama.
Menurut dia, pengadilan militer tidak bisa mengadili sipil, begitu pun pengadilan umum juga tidak bisa mengadili militer.
"Anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum tidak diadili melalui Peradilan Sipil (umum) karena belum adanya perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lalu, pasca diberlakukannya Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Peradilan Militer masih berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum. Kondisi ini dikuatkan oleh Pasal 74 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu selama Undang Undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk maka tetap tunduk pada Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," bebernya.
Baca juga: Mahfud MD Minta Polemik KPK Tersangkakan Kabasarnas dalam Kasus Suap Tak Perlu Diperpanjang
TB Hasanuddin pun menegaskan akan mendukung proses hukum yang melibatkan oknum anggota TNI aktif harus dilakukan secara transparan dan terang benderang.
"Proses hukum harus dilanjutkan dan dilakukan secara transparan dan dibuka ke publik," tandas dia.
Sebelumnya, TNI tidak mengakui penetapan tersangka suap terhadap Kepala Basarnas atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
TNI menilai KPK telah melebihi kewenangannya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Perbedaan pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tentang status tersangka Kepala Basarnas, Henri Alfiandi, dalam kasus dugaan korupsi ini akhirnya diakhiri dengan permintaan maaf oleh pimpinan KPK.
Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, di kantornya, seusai bertemu Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda TNI Agung Handoko, pada Jumat (28/7/2023).