Seidman yang menemukan sebuah dalil bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (The Law Of Non Transferability of Law).
Sejalan dengan itu, Cicero menyatakan "Ubi societas ibi ius" dimana ada masyarakat, disitu ada hukum sehingga masyarakat suatu bangsa memiliki karakteristik bangsa yang berbeda.
"Indonesia sebagai bangsa juga mempunyai karakteristik sendiri dalam hukum walaupun diakui bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang kaya, bertalian dengan adanya kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein," ucap Agus.
Dijelaskan, timbulnya kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein karena hukum Indonesia sebagian besar mengadopsi sistem hukum asing (imposed from outside) dan atau dibuat berdasarkan ide dari terbitnya hukum dari negara lain. Baik Anglo Saxon maupun Eropa Continental.
Baca juga: Jelang 10 Tahun Legacy Jokowi, Ini Kata Praktisi Hukum Soal Transformasi Indonesia
Padahal, seharusnya pembentukan hukum nasional berdasarkan kebutuhan dan dibuat oleh pakar hukum yang melibatkan para akademisi, dan tokoh utusan daerah dan golongan untuk memberikan masukan, sesuai nafas dan karakter bangsa ini.
Indonesia, lanjutnya, mempunyai karakter sendiri yang mengacu pada budaya bangsanya sebagai pengejawantahan seluruh nilai yang dikandung sila-sila Pancasila.
Termasuk didalamnya budaya musyawarah dan mufakat, budaya gotong-royong, budaya guyub.
Sayangnya budaya tersebut tidak lagi tampak dari isi pasal dalam UUD yang telah diamandemen.
Melalui pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik, mengajarkan masyarakat akan budaya kebebasan atau liberal, dalam Negara Pancasila.
"Antara hak dan kewajiban adalah berimbang, tetapi hak asasi tersebut adalah hak asasi yang bertanggung jawab yang tidak merugikan orang lain," ucapnya.
Hukum dasar sangat memungkinkan untuk direvisi atau diamandemen dengan pertimbangan harus disesuaikan kondisi dan situasi zaman, akan tetapi tanpa mengubah pasal-pasal krusial yang merupakan sokoguru/tiang utama dari terbentuknya Negara Kesatuan dalam sistem ketatanegaraan yang telah disepakati dan dibuat para pendiri Bangsa sebagaimana diuraikan di atas.
"Yang jadi pertanyaan besar kita bersama dan generasi setelah kita nanti, apakah seperti ini cita-cita Proklamasi dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh para pendiri Bangsa?" ucapnya.
Lebih lanjut, dia menyatakan adanya otonomi daerah yang lalu berakibat menimbulkan kekuasaan tidak lagi tersentral.
Akan tetapi mirip negara dalam negara yang amat mirip dengan negara federasi/serikat, dimana kekuasaan kepala daerah sangat besar. Gubernur bukan lagi atasan tapi hanya pengawas secara administratur.
Baca juga: Praktisi Hukum sebut Cita-cita Reformasi Justru Menjadi Deformasi
"Untuk itu marilah kita renungkan bersama kondisi ini: apakah kita tetap berdiam diri melihat ketidakharmonisan dalam sistem hukum yang ada? Semua pihak harus duduk bersama untuk masalah besar ini," pungkasnya.