"Agar bidang Tindak Pidana Khusus dan bidang Intelijen menunda proses pemeriksaan terhadap pihak sebagaimana dimaksud, baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan sejak ditetapkan dalam pencalonan sampai selesainya seluruh rangkaian proses dan tahapan pemilihan," katanya dalam memorandum yang terbit Minggu (20/8/2023).
Instruksi itu kemudian melahirkan kontroversi dari berbagai kalangan.
Baca juga: Jaksa Agung Tunda Usut Perkara Capres-Cawapres, Caleg, dan Kepala Daerah Sampai Pemilu 2024 Usai
Dari Mahfud MD, Mantan Ketua MK yang kini Menko Polhukam menyatakan bahwa instruksi tersebut karena pada masa Pemilu, kerap terjadi kriminalisasi bagi para pesertanya.
Katanya, instruksi tersebut juga dianggap bijak untuk meminimalisir perkara korupsi yang dipolitisasi.
"Itu hanya ditunda. Ditunda dulu penyelidikan dan penyidikannya. Tentu kalau yang sedang berjalan, nanti biar dicari jalan keluar oleh Kejaksaan Agung. Tentu saja kalau sudah berjalan kan tidak bisa dikaitkan dengan Pemilu. Tapi semuanya tentu akan dibijaki agar hukum itu tidak dipolitisir," kata Mahfud di Hotel Sultan Jakarta pada Senin (21/8/2023).
Dukungan senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komis III DPR, Ahmad Sahroni.
Dia menilai, para capres dan cawapres merupakan individu yang bersih dari hukum.
Sebab jika tidak, menurutnya, individu tersebut sudah pasti diproses oleh aparat sejak lama.
“Saya yakin semua capres-cawapres yang kita punya nantinya, tidak memiliki dan tidak sedang tersangkut kasus hukum. Karena kalaupun ada, kenapa enggak diangkat dari kemarin-kemarin? Justru aneh kalau kasusnya baru muncul menjelang 2024 ini,” kata Sahroni dalam keterangannya Senin (21/8/2023).
Sementara dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menilai bahwa penundaan berpotensi mempengaruhi alat bukti terkait perkara korupsi.
Seiring berjalannya waktu, alat bukti berpotensi dirusak atau dihilangkan dengan sengaja.
"Kalau ditunda, nanti alat buktinya hilang, musnah, atau dimusnahkan," kata Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman saat dihubungi, Senin (21/8/2023).
Bahkan Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyampaikan bahwa instruksi Jaksa Agung tersebut merupakan pembangkangan terhadap konstitusi.
""Perintah Jaksa Agung dapat dimaknai sebgai pembangkangan konstitusi Pasal 28 D ayat 1 (Undang-Undang Dasar 1945)," kata Anthony dikutip dari akun resmi Twitternya, @AnthonyBudiawan, Senin (21/8/2023).