Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin buka suara soal penanganan korupsi di tengah memorandumnya yang menuai kontroversi.
Untuk diketahui, di dalam memorandum yang diterbitkannya beberapa waktu lalu, terdapat instruksi agar perkara korupsi yang melibatkan peserta Pemilu 2024 ditunda.
Namun alih-alih memberi penjelasan terkait instruksi tersebut, Jaksa Agung justru berbicara mengenai penanganan korupsi dengan paradigma baru.
Katanya, penanganan korupsi mestinya dilakukan dengan mengedepankan pemulihan kerugian negara. Sebab, hanya memenjarakan pelaku dinilai takkan membuat korupsi lenyap begitu saja di Indonesia.
Hal ini sering dia sampaikan dalam beberapa kesempatan. Termasuk saat memberi kuliah umum di Universitas Airlangga, kemarin, Minggu (27/8/2023).
"Paradigma penegakan hukum pemberantasan korupsi selama ini masih terjebak dengan bagaimana memasukan pelaku ke penjara. Padahal dengan memasukan pelaku ke penjara saja belum cukup mengubah kondisi Indonesia agar bebas dari korupsi," katanya dalam rilis yang diterima, Senin (28/8/2023).
Kasus-kasus korupsi yang kian berkembang modus operandinya dinilai Burrhanuddin menimbulkan kerugian negara yang makin besar.
Oleh sebab itu, diperlukan perubahan mindset atau pola pikir dalam pemberantasannya.
Menurutnya, cara paliing efektif saat ini untuk memberantas korupsi dengan memiskinkan pelaku.
Perampasan aset para koruptor menjadi keniscayaan untuk mengembalikan kerugian negara.
"Dilakukan juga dengan menggunakan pendekatan follow the money dengan tujuan pengembalian kerugian keuangan negara dan pendekatan follow the asset untuk merampas asset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi," katanya.
Terkait korupsi sendiri, Burhanuddin sebagai Jaksa Agung sempat menerbitkan instruksi kepada jajarannya untuk menunda pengusutan.
Penundaan penyelidikan dan penyidikan korupsi berlaku bagi para Peserta Pemilu yang terdiri dari: calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), calon anggota legislatif (caleg), dan calon kepala daerah (calonkada).
"Agar bidang Tindak Pidana Khusus dan bidang Intelijen menunda proses pemeriksaan terhadap pihak sebagaimana dimaksud, baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan sejak ditetapkan dalam pencalonan sampai selesainya seluruh rangkaian proses dan tahapan pemilihan," katanya dalam memorandum yang terbit Minggu (20/8/2023).
Instruksi itu kemudian melahirkan kontroversi dari berbagai kalangan.
Baca juga: Jaksa Agung Tunda Usut Perkara Capres-Cawapres, Caleg, dan Kepala Daerah Sampai Pemilu 2024 Usai
Dari Mahfud MD, Mantan Ketua MK yang kini Menko Polhukam menyatakan bahwa instruksi tersebut karena pada masa Pemilu, kerap terjadi kriminalisasi bagi para pesertanya.
Katanya, instruksi tersebut juga dianggap bijak untuk meminimalisir perkara korupsi yang dipolitisasi.
"Itu hanya ditunda. Ditunda dulu penyelidikan dan penyidikannya. Tentu kalau yang sedang berjalan, nanti biar dicari jalan keluar oleh Kejaksaan Agung. Tentu saja kalau sudah berjalan kan tidak bisa dikaitkan dengan Pemilu. Tapi semuanya tentu akan dibijaki agar hukum itu tidak dipolitisir," kata Mahfud di Hotel Sultan Jakarta pada Senin (21/8/2023).
Dukungan senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komis III DPR, Ahmad Sahroni.
Dia menilai, para capres dan cawapres merupakan individu yang bersih dari hukum.
Sebab jika tidak, menurutnya, individu tersebut sudah pasti diproses oleh aparat sejak lama.
“Saya yakin semua capres-cawapres yang kita punya nantinya, tidak memiliki dan tidak sedang tersangkut kasus hukum. Karena kalaupun ada, kenapa enggak diangkat dari kemarin-kemarin? Justru aneh kalau kasusnya baru muncul menjelang 2024 ini,” kata Sahroni dalam keterangannya Senin (21/8/2023).
Sementara dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menilai bahwa penundaan berpotensi mempengaruhi alat bukti terkait perkara korupsi.
Seiring berjalannya waktu, alat bukti berpotensi dirusak atau dihilangkan dengan sengaja.
"Kalau ditunda, nanti alat buktinya hilang, musnah, atau dimusnahkan," kata Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman saat dihubungi, Senin (21/8/2023).
Bahkan Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyampaikan bahwa instruksi Jaksa Agung tersebut merupakan pembangkangan terhadap konstitusi.
""Perintah Jaksa Agung dapat dimaknai sebgai pembangkangan konstitusi Pasal 28 D ayat 1 (Undang-Undang Dasar 1945)," kata Anthony dikutip dari akun resmi Twitternya, @AnthonyBudiawan, Senin (21/8/2023).
Menurut Anthony, hal tersebut dapat menghilangkan kesetaraan di mata hukum.
Jika Kejaksaan Agung sudah memiliki alat bukti yang cukup, maka mestinya tak boleh ada keraguan untuk memeriksa calon tersebut.
Baca juga: Instruksikan Tunda Perkara Korupsi Peserta Pemilu, Jaksa Agung Dinilai Membangkang Konstitusi
"Termasuk calon pejabat, juga wajib diperlakukan sama: wajib diperiksa kalau sudah ada cukup bukti," katanya.