Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah Wali Kota Bima Muhammad Lutfi bepergian ke luar negeri.
Pencegahan itu berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemkot Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
M Lutfi diketahui merupakan salah satu tersangka dalam perkara tersebut.
"Kemudian sebagai upaya memperlancar proses penyidikannya, apakah orang yang ditetapkan sebagai tersangka tadi itu dicegah ke luar negeri, iya, kami sampaikan betul, dilakukan cegah agar tidak bepergian ke luar negeri," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (31/8/2023).
Dikatakan Ali, surat permintaan itu sudah dikirim pihaknya ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Baca juga: Geledah Kantor Wali Kota Bima dan Rumah M Lutfi, Ini Barang Bukti yang Disita KPK
Pencegahan terhadap M. Lutfi dilakukan selama enam bulan sejak Agustus 2023.
"Suratnya sudah diajukan ke Kemenkumham, Ditjen Imigrasi terhadap satu orang agar tidak bepergian ke luar negeri selama 6 bulan sejak Agustus ini sampai nanti 6 bulan ke depan, dan itu pun dapat diperpanjang kembali untuk kebutuhan proses penyidikan yang sedang kami lakukan," terang Ali.
Untuk diketahui, KPK meningkatkan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi di Kota Bima ke tahap penyidikan.
Seiring dengan peningkatan itu, KPK telah menjerat sejumlah tersangka.
Baca juga: KPK Geledah Rumah Wali Kota Bima dan Sejumlah Kantor Dinas
Berdasarkan informasi Tribunnews.com dari aparat penegak hukum, salah satu pihak yang dimintai pertanggungjawaban hukum yakni Wali Kota Bima H. Muhammad Lutfi.
Lutfi disebut terlibat perkara dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi.
"Status Wali Kota Bima sudah tersangka. Pasal 12 huruf i dan 12B," kata sumber Tribunnews.com, Selasa (29/8/2023).
Pasal 12 huruf i UU Tipikor berbunyi: "Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya".
Sementara, Pasal 12B UU Tipikor menyebutkan: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".
Tim penyidik KPK pun telah melakukan maraton penggeledahan di sejumlah lokasi di wilayah Kota Bima, NTB selama dua hari.
Penggeledahan dimaksud berkaitan dengan pengusutan perkara dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemkot Bima, NTB.
Pada Selasa (29/8/2023), penyidik KPK menggeledah ruangan kerja Wali Kota Bima; ruangan kerja Setda; dan ruangan kerja unit layanan pengadaan PBJ.
Kemudian pada Rabu (30/8/2023), tim KPK melakukan penggeledahan di rumah Wali Kota Bima H Muhammad Lutfi di Kelurahan Rabadompu, Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima, NTB; Kantor Dinas PUPR Pemkot Bima; Kantor BPBD Pemkot Bima; dan rumah dari pihak terkait lainnya.
Dari penggeledahan selama dua hari itu, KPK mengamankan barang bukti berupa dokumen pengadaan, lembaran catatan keuangan, dan alat elektronik.
"Selama proses penggeledahan dimaksud ditemukan dan diamankan bukti antara lain berupa berbagai dokumen pengadaan, lembaran catatan keuangan dan alat elektronik," kata Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (31/8/2023).
Ali mengatakan barang bukti yang diamankan selanjutnya disita sebagai pemenuhan berkas penyidikan.
"Berikutnya segera dilakukan analisis dan penyitaan untuk menjadi kelengkapan berkas perkara penyidikan," katanya.