TRIBUNNEWS.COM - Usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel soal pemerinta mengontrol seluruh tempat ibadah di Indonesia agar tidak menjadi sarang radikalisme menuai kritik.
Adapun usulan tersebut disampaikan oleh Rycko dalam rapat bersama Komisi III DPR pada Senin (4/9/2023) lalu.
Sementara usulan tersebut dilontarkan Rycko menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III dari Fraksi PDIP, Safaruddin.
Pada awalnya, Safaruddin mengungkapkan kasus karyawan PT KAI yang beberapa waktu lalu ditangkap oleh Densus 88 Antiteror atas dugaan terlibat terorisme.
Kemudian, ia membeberkan hasil pantauannya di salah satu masjid Pertamina di Balikpapan yang setiap harinya mengkritik pemerintah.
"Ya memang kalau kami di Kalimantan Timur Pak, ada masjid di Balikpapan itu Pak, itu masjidnya Pertamina, tapi tiap hari mengkritik pemerintah di situ Pak, di dekat Lapangan Merdeka itu," kata Safaruddin dikutip dari YouTube Komisi III DPR, Rabu (6/9/2023).
Baca juga: Fraksi PPP: Usulan BNPT Soal Rumah Ibadah Dikontrol Pemerintah Langgar Konstitusi
Rycko pun menanggapi pernyataan Safaruddin tersebut dengan mengungkapkan perlunya adanya kontrol oleh pemerintah terhadap tempat ibadah lantaran dianggapnya kerap menjadi tempat penyebaran paham radikal.
"Kiranya kita perlu memiliki mekanisme kontrol terhadap penggunaan dan penyalahgunaan tempat-tempat ibadah yang digunakan untuk penyebaran paham radikalisme," jawab Rycko.
Dia mengatakan usulannya ini telah berdasarkan studi banding yang dilakukan di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, hingga Maroko.
Rycko menyebut di negara tersebut, konten tausyiah yang disampaikan telah di bawah kontrol pemerintah.
"(Di negara-negara itu) semua masjid, tempat ibadah, petugas di dalam yang memberikan tausiyah, memberikan khotbah, memberikan materi, termasuk kontennya di bawah kontrol pemerintah," tuturnya.
Sehingga, Rycko pun mengusulkan pula agar kontrol pemerintah terhadap tempat ibadah juga dilakukan di Indonesia.
"Siapa saja yang boleh memberikan, menyampaikan konten di situ, termasuk mengontrol isi daripada konten supaya tempat-tempat ibadah kita ini tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, ajaran-ajaran kebencian, menghujat golongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah," jelasnya.
Rycko mengatakan hal ini perlu dilakukan lantaran BNPT merasa penggunaan tempat ibadah untuk proses radikalisasi sudah masif.
MUI Sebut Usulan Kepala BNPT Langkah Mundur
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menganggap bahwa usulan Rycko tersebut adalah langkah mundur dan tidak sesuai prinsip demokrasi.
"Oleh karena itu jika Kepala BNPT mengusulkan agar rumah ibadah diawasi dan dikontrol oleh pemerintah ini jelas sebuah langkah mundur dan mencerminkan cara berfikir serta bersikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah kita bangun dan kembangkan selama ini secara bersusah payah," katanya dalam keterangan tertulis pada Rabu (6/9/2023).
Baca juga: Bangun Ketahanan Masyarakat Dari Radikalisme, BNPT Dapat Dukungan Komisi III DPR
Anwar juga menganggap Rycko memiliki cara berpikir layaknya tiran dan despotisme dengan usulan yang mengedepankan pendekatan keamanan alih-alih pendekatan secara dialogis, objektif, dan rasional.
"Cara-cara kepemimpinan seperti ini biasanya dipergunakan orang dalam kepemimpinan yang bersifat otoritarianisme dan itu sudah jelas tidak sesuai jiwa dan semangatnya dengan falsafah dan hukum dasar negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945," jelasnya.
Selain itu, Anwar mengatakan jika usulan Rycko tersebut diterapkan, maka telah melanggar pasal 28 E ayat 3 dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
"Jadi kebebasan beribadah dan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi," jelasnya.
PGI: Usulan Kepala BNPT Tunjukkan Sikap Frustrasi Pemerintah Tak Mampu Atasi Radikalisme
Ketua Umum Perserikatan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom mengatakan usulan Rycko adalah langkah mundur dari proses demokratisasi yang tengah diperjuangkan bersama pasca Reformasi 1998.
"Kita sudah menyepakati demokrasi menjadi sistem atau kendaraan bagi kita sebagai bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dalam masyarakat yang semakin demokratis, negara harus mempercayai rakyatnya untuk bisa mengatur dirinya, termasuk dalam hal pengelolaan rumah ibadah," kata Gultom dikutip dari laman PGI.
Gultom juga menilai usulan pengawasan terhadap tempat ibadah beserta tokoh agama yang menyampaikan khotbah adalah wujud frustrasi pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme di Indonesia.
Baca juga: Momen Abu Bakar Baasyir Ikut Upacara di Ponpes Al Mukmin Ngruki, Undang BNPT, Polisi dan TNI
Gultom pun menyoroti masalah sebenarnya yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kurang tegasnya pemerintah dalam menghadapi ujaran kebencian yang mendorong budaya kekerasan di tengah masyarakat.
Selain itu, dirinya juga menilai perilaku intoleran yang disertai tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama kerap luput dari tindakan hukum negara.
"Peradaban yang mengedepankan mereka yang bersuara keras, atau mengedepankan kebencian dan kekerasan, ini yang perlu mendapat perhatian kita bersama, untuk segera dihentikan," katanya.
Sehingga, Gultom meminta agar pemerintah lebih serius dalam menindak tegas aksi intoleran dan tindak kekerasan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, sambungnya, hal lain yang mendesak dilakukan bersama oleh seluruh elemen bangsa adalah pembudayaan cinta damai dan cinta kemanusiaan.
"Menjadi tugas bersama untuk mendidik masyarakat untuk sedia menerima mereka yang berbeda, serta mengakomodasinya dalam membangun hidup bersama, termasuk mengakomodasi kebutuhan akan rumah ibadah, oleh umat beragamana apapun,” katanya.
Di sisi lain, Gultom meminta agar pemerintah perlu lebih peka mendengar kritik masyarakat, termasuk dari para tokoh agama atau pendakwah, dan jangan cepat menghakiminya sebagai bagian dari radikalisme.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)