Lebih lanjut, Sudirta mengatakan dalam masyarakat Bali dikenal konsep Tri Hita Karana, yang memiliki hubungan dengan Pancasila sebagai pembangun kesejahteraan sosial yang holistik (dunia dan rohani).
“Dalam hal ini, Pancasila diwujudkan dalam kewajiban negara untuk memfasilitasi seluruh kehidupan beragama, sehingga tercapai kesejahteraan holistik,” ujar Sudirta.
Sudirta mengungkapkan latar belakang disertasi ini karena kondisi demokrasi yang sudah mengarah ke arah liberalisme dan kapitalisme.
Menurut dia, liberalisme masuk ke Indonesia tanpa disaring dan nilai-nilai lokal pelan-pelan tergerus, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam yang dominan dikuasai oleh individu dan perusahaan asing.
"Ini persoalan kebijakan dan kemampuan politik, sehingga perlu rekonstruksi dan mengembalikan pemikiran Bung Karno, sesuai dengan pidatonya bahwa kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial salah satu tujuan yang sangat penting," tegas Ketua Tim Panitia Perancang Undang-undang DPD RI dua periode ini.
Oleh karena itu, kata Sudirta, salah satu solusi mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah rekonstruksi nilai-nilai Pancasila yang disebutnya radikalisme Pancasila.
Kata dia menegaskan, radikalisme bukan berarti negatif, tetapi mempercepat bagaimana Pancasila membumi.
“Untuk membumikan Pancasila, ada beberapa hal yang harus dilakukan yakni, bagaimana agar Pancasila betul-betul disepakati, tidak boleh digoyah lagi, menjadi ideologi negara, jangan ada ideologi lain. Pancasila sebagai ideologi negara, harus dianggap sebagai ilmu dan dipelajari oleh seluruh dunia, sehingga sosialisasinya menjadi masif,” beber Sudirta.
Selain itu, kata Sudirta, peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tidak boleh menyimpang. Lalu, Pancasila jangan diabdikan hanya kepada pemerintah dan negara, tidak vertikal, tapi lebih banyak ke horizontal yakni ke masyarakat.
"Pancasila itu justru harus lihat sebagai sarana untuk mengeritik pemerintah, jikalau pemerintah tidak sesuai melaksanakan program-program pembangunan berdasarkan Pancasila," imbuh dia.
Lebih lanjut, Sudirta mengatakan penelitian ini mengeksplorasi nilai-nilai Pancasila dalam tiga pendekatan, yakni keyakinan, pengetahuan dan tindakan. Dimensi keyakinan, kata dia, bertolak dari sisi ontologis Pancasila dengan menggali hakikat nilai-nilai Pancasila dalam eksistensi manusia sesuai alam pikir Pancasila sebagai filsafat sebagai makna terdalam dari ide yang mendasari Pancasila.
“Struktur terdalam itu adalah titik temu dalam menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam masyarakat yang majemuk yang dituangkan dalam prinsip sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan sosio-religius, yang terkristalisasi dalam semangat gotong royong," ujar Sudirta.
"Sementara dimensi pengetahuan bertolak dari epistemologis Pancasila, yakni konsekuensi paradigmatik-teoritis yang dapat menurunkan konsepsi-konsepsi pengetahuan (epistemologi), di mana filosofi Pancasila berkaitan dengan cara berpikir menurut Pancasila. Sedangkan dimensi tindakan meninjau dari aksiologis Pancasila, yakni Pancasila sebagai kerangka pengetahuan (konseptual) yang menuntut perwujudan kerangka operatif sebagai pedoman perilaku penyelenggara negara dan warga negara," tegasnya.