Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI menduga ada enam hak asasi manusia yang diduga dilanggar dalam konflik antara pemerintah dan masyarakat di Pulau Rempang.
Komisioner Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing menjelaskan hak pertama yang diduga dilanggar khususnya pada peristiwa konflik 7 September 2023 di Pulau Rempang adalah hak atas rasa aman dan bebas dari intimidasi.
Ia mengatakan ada penggunaan kekuatan berlebihan dengan pengerahan 1.000 personel aparat keamanan dalam konflik tersebut.
Selain itu, kata dia, Komnas HAM juga menduga adanya penggunaan gas air mata yang tidak terukur sehingga menyebabkan korban.
Hal tersebut disampaikannya saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI pada Jumat (22/9/2023) terkait temuan awal pemantauan dan penyilidikan konflik di Pulau Rempang.
"Jadi ada pelanggaran hak atas rasa aman, bebas dari intimidasi. Itu jaminan hukumnya dari konstitusi, UU HAM, maupun Perkap Kepolisian Nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dan tindakan kepolisian yang menegaskan bahwa penggunaan senjata api, senjata kimia, termasuk di dalamnya gas air mata harus menjadi opsi terakhir terhadap situasi dianggap menimbulkan kekacauan," kata dia.
Baca juga: Komnas HAM Minta Menko Perekonomian Tinjau Kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang
"Selain itu, aparat kepolisian dilarang melakukan kekerasan saat bertugas kecuali saat mencegah kejahatan. Itu ada di pasal 10 huruf C Perkap Polisi Nomor 8 tahun 2009," sambung dia.
Kedua, kata dia, pihaknya menduga ada hak memperoleh keadilan yang dilanggar.
Ia mengatakan hal tersebut terkait adanya pembatasan akses terhadap bantuan hukum kepada 8 tersangka yang sudah dibebaskan ketika proses penyelidikan dan penyidikan.
Baca juga: Komnas HAM RI: Kondisi Bayi Korban Gas Air Mata di Pulau Rempang Sudah Baik Setelah Dibawa Ke RS
"Itu kami mendaptkan laporan juga dari masyarakat dan kuasa hukmnya," kata dia.
Ketiga, lanjut dia, hak atas tempat tinggal yang layak.
Hal tersebut, kata Uli, terkait dengan rencana relokasi masyarakat.
Rencana relokasi tersebut, kats Uli, berdampak secara langsung terhadap tempat tinggal, terutama pada perkampungan Melayu Kuno di Pulau Rempang.
Upaya relokasi ke lokasi baru, kata dia, pada dasarnya tidak hanya mencederai hak rasa aman, namun juga mencabut hak atas tempat tinggal yang layak.
Dalam relokasi tersebut, kata dia, juga ada prinsip-prinsip yang sudah ditegaskan Komnas HAM melalui Standar dan Norma Pengaturan (SNP) hak atas tempat tingggal yang layak.
Standar-standar yang harus dipenuhi sebelum relokasi berdasadarkan SNP tersebut, kata dia, pertama partisipasi bermakna dan pendekatannya mendengarkan aspirasi masyarakat.
"Pendekatan yang sekarang ada adalah dari atas ke bawah, dan itu sudah terkonfirmasi. Kami menemukan beberpa saksi yang menyatakan mereka tidak pernah didengar oleh BP Batam dan pendekatannya hanya dari atas saja, dari aparat di tingkat keluarahan sampai kecamatan," kata dia.
Keempat, kata dia, hak perlindungan anak.
Ia mengatakan ada siswa SDN 24 Galang dan SMP 22 Galang yang terdampak gas air mata pada peristiwa 7 September.
"Ini juga secra visual sudah ada video-videonya dan kami sudah mewawancarai di lokasi di SDN 24 Galang dan SMPN 22 Galang," kata dia.
Kelima, lanjut dia, hak atas kesehatan.
Ia mengatakan hal tersebut terkait upaya pengosongan Puskemas dan pembebas tugasan petugas kesehatan di Pulau Rempang.
Pihaknya, kata Uli, sudah menemui saksi-saksi dan terkonfirmasi ada upaya pengosogan Puskesmas di Pulau Rempang dan pemindahtugasan tenaga kesehatan di Pulau Rempang.
"Sehingga fasilitas kesehatan tidak bisa berfungsi maksimal. Kedepannya mungkin juga fasilitas kesehatan akan dipindahkan. Tapi ini butuh pendalaman bagi kami," kata dia.
Keenam, lanjut dia, hak terkait bisnis dan HAM.
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengabaikan HAM akan berdmapak sangat buruk bagi masyarakat di Pulau Rempang terutama masyarakat adat Melayu.
"Untuk itu diperlukan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan HAM," kata dia.