Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan perkara batas usia capres-cawapres.
Putusan tersebut yakni perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Mahasiswa UNS Almas Tsaqibbirru Re A yang meminta MK mengatur batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Jimly yang juga Mantan Ketua MK periode 2003-2008 itu mengatakan putusan tersebut harus dihormati dan dijalankan.
Sebab, jelasnya, dalam memutus perkara tersebut sembilan hakim konstitusi sudah melalui perdebatan sengit.
"Itu kan putusan MK, jadi kita harus hormati dan kita jalankan saja apa yang diputuskan. Apalagi mereka sudah melalui suatu perdebatan sengit. Artinya mereka masing-masing 9 orang (hakim) itu sudah dengan keyakinan, dengan keyakinan berdasarkan bukti-bukti yang mereka sudah kaji, sudah dapatkan dari para pihak. Jadi mereka berdebat habis-habisan itu, pasti marah-marah dan memang keadilan itu memang harus diperjuangkan, dipertarungkan, jadi enggak bisa hanya ikut-ikut saja," kata Jimly saat dihubungi, Selasa (17/10/2023).
"Jadi bagaimana pun putusan yang sudah dibuat dengan perdebatan substantif harus dihormati dong," sambungnya.
Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Harusnya Berlaku di Pilpres 2029
Terlebih, kata Jimly, putusan MK tersebut dan keputusan politik yang dalam hal ini menurutnya adalah isu mengenai potensi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024, merupakan dua hal yang berbeda dan harus dipisahkan.
"Ya kita pisahkan aja ini isu-isunya, putusan MK ini kan rule of the game, aturan main. Sedangkan keputusan siapa capres-cawapres itu kan keputusan politik, ini harus dibedakan. Bisa saja aturan mainnya membolehkan yang belum 40 tahun tapi pengalaman tapi itu enggak dipraktikkan di 2024 tapi 2029, kan bisa juga," kata Jimly.
"Ini kan aturan main, apa benar Gibran menjadi cawapres, benar atau enggak? itu kan soal lain. Siapa yang mastikan sekarang bahwa Gibran jadi cawapres? Kan belum ada keputusan. Makanya, ini dua hal yang harus dibedakan dan bahkan dipisahkan, dua hal yang berbeda. Bisa aja Gibran enggak jadi (maju jadi cawapres), karena itu pertimbangannya kan pertimbangan politik."
Ia mengatakan keputusan politik yang mencuat terkait Gibran itu juga belum tentu terjadi nantinya.
Menegaskan hal tersebut, ia menyampaikan berbagai dugaan yang bisa saja terjadi terhadap Gibran dan menghentikan langkah putra Jokowi itu maju di Pilpres 2024.
"Misal karena sudah pada marah. Orang yang tidak suka pemerintah sekarang memperkuat kubu Amin (pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden, Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar). PDIP yang merasa dirugikan karena memecahkan suara, dan Gibran dengan keluarga Jokowi sudah dianggap sudah menjadi petugas partai dan sudah menduduki 7 jabatan, keluarganya ini yang dapat dukungan dari PDIP dan dianggap berkhianat ya kan. Nah marah sekali, sehingga kalau betul itu Gibran jadi cawapres, kan yang bersebrangan dengan capresnya yang diusung PDIP ini akan terjadi perang antara Megawati dan Jokowi," kata Jimly.
"Nah, apa betul dengan perkembangan kayak gini ini Gibran bener mau jadi cawapres di 2024? Belum tentu. Maka harus dipisahkan antara aturan main (MK) dengan keputusan politik nanti," ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian" kata Ketua MK Anwar Usman dalam ruang sidang MK, Jakarta Senin (16/10/2023).
Hal ini berarti kepala daerah berusia 40 tahun atau pernah dan sedang menjadi kepala daerah, meski belum berusia 40 tahun, dapat maju menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dalam pertimbangannya MK melihat bata usia tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945.
MK juga menegaskan, dalam batas penalaran yang wajar, setiap warga negara memiliki hak pilih dan seharusnya juga hak untuk dipilih.
Termasuk hak untuk dipilih dalam pemilu presiden dan wakil presiden.
“Pandangan demikian ini tidak salah, sesuai logika hukum dan tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan juga sejalan dengan pendapat sebagian kalangan yang berkembang di masyarakat,” ujar hakim Guntur Hamzah dalam ruang sidang.
Putusan sidang ini segera berlaku mulai dari Pemilu 2024 dan seterusnya.