TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi atau nota keberatan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar terkait perkara korupsi pengadaan pesawat.
Penolakan itu disampaikan dalam sidang pembacaan putusan sela, Senin (6/11/2023) malam
"Mengadili, menyatakan nota keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa Emirsyah Satar tidak dapat diterima," ujar Hakim Ketua, Rianto Adam Pontoh.
Dalam putusan selanya, Majelis Hakim juga menanggapi perihal nebis in idem yang digaung-gaungkan tim penasihat hukum.
Majelis Hakim berpandangan, untuk menilai hal tersebut, mesti dilakukan pemeriksaan pokok perkara.
"Bahwa untuk mengetahui apakah surat dakwaan dalam perkara terdakwa Emirsyah Satar melanggar asas ne bis in idem ataukah tidak, maka harus dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya di persidangan. Sehingga oleh karenanya keberatan pada kuasa hukum terdakwa harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata Hakim Rianto.
Kemudian Majelis Hakim juga berpendapat bahwa jaksa penuntut umum (JPU) telah menyusun dakwaan secara cermat dan jelas.
Oleh sebab itu, Majelis memerintahkan agar persidangan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi.
"Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama terdakwa Emirsyah Satar berdasarkan surat dan dakwaan penuntut umum tersebut," kata hakim.
Karena agenda dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok, Majelis Hakim juga menyatakan agar beban biaya perkara diputuskan saat penjatuhan vonis bagi terdakwa.
"Menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir," katanya.
Baca juga: Pakar Hukum: Kasus Emirsyah Satar di Kejaksaan Ne Bis in Idem
Dalam perkara ini, Emirsyah Satar telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan pesawat.
Dari rentetan tindak korupsi yang dilakukannya, terdapat pengaturan bidding vendor untuk memenangi perusahaan tertentu dalam proyek pengadaan pesawat, yakni Bombardier CRJ-1 000 dan Sub-100 seater Turboprop ATR72-600.
Akibat perbuatannya, perekonomian negara diduga merugi hingga USD 609 juta atau Rp 9,3 triliun jika dikonversikan ke rupiah saat ini.
"Bahwa perbuatan terdakwa Emirsyah Satar bersama-sama dengan Albert Burhan, Agus Wahjudo, Setijo Awibowo, Hadinoto Soedigno, dan Soetikno Soedarjo telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara pada PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk sejak tahun 2011 sampai dengan periode Tahun 2021, dengan total berjumlah sebesar USD 609.814.504," kata jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).
Akibat perbuatannya, dia dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.