Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menyebut program rumah dengan uang muka atau downpayment (DP) 0 rupiah tak rasional.
Itu diucapkan Prasetyo Edi ketika bersaksi dalam sidang perkara dugaan korupsi pengadaan lahan di Kelurahan Pulo Gebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Politikus PDIP itu berujar, fraksinya di DPRD tak setuju dengan penyertaan modal untuk program Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan.
“Buat fraksi kami, PDI Perjuangan kok pada saat itu tidak rasional rumah DP 0 rupiah. Dasarnya dari mana? dasarnya apa?” ucap Prasetyo Edi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/1/2024).
Lebih lanjut, Prasetyo mengatakan DPRD DKI Jakarta saat itu tetap menyetujui anggaran untuk program DP 0 rupiah yang nilainya hampir mencapai Rp 1 triliun.
Namun, persetujuan itu disertai dengan catatan.
“Apa catatannya?” tanya jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Viral Rumah Program DP 0 Rupiah jadi Kos, Pemprov DKI akan Cek, Pj Gubernur Buka Suara
“Saya lupa sudah lama sekali, salah satunya kita di dalam pembahasan DP 0 rupiah kita menolak,” jawab Prasetyo Edi.
Prasetyo Edi lantas menyinggung program Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Joko Widodo dan Fauzi Bowo atau yang karib disapa Foke.
Menurutnya, setiap program Gubernur DKI selalu ada pro-kontra dalam proses pembahasan di DPRD DKI Jakarta.
“Pak Foke, Pak Jokowi jadi gubernur punya satu terobosan namanya Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat. Nah ada juga pro dan kontra pembahasan menolak itu tapi kami tetap berjalan akhirnya KJP, KJS diterima masyarakat,” ujar Prasetyo Edi.
Baca juga: Eks Pejabat BUMD DKI Benarkan Pengadaan Tanah Munjul untuk Program Rumah DP 0 Rupiah
“Begitu pun juga ini kan Pak Anies mengajukan satu program yang mana mungkin itu meneruskan dari pemerintah sebelumnya,” imbuhnya.
Menurut Prasetyo Edi, program yang digagas Anies tidak jauh berbeda dengan program rumah susun yang dilakukan pemimpin DKI sebelumnya.
Hanya saja, program Rp 0 rupiah tersebut dinilai tidak rasional untuk warga Jakarta.
“Sebetulnya untuk rumah susun berhasil rumah DP 0 rupiah tidak berhasil?” tanya jaksa KPK.
“Kalau DP 0 rupiah itu kan harus ada turunannya, berapa gaji kamu? Berapa kemampuan kamu? Semuanya kan harus rasional,” jawab Prasetyo Edi.
“Rumah DP 0 rupiah terlaksana enggak?” tanya jaksa kemudian.
“Yang saya lihat sih enggak pak, enggak terjadi sampai sekarang,” timpal Prasetyo Edi.
“Padahal sudah dikucurkan Rp900 miliar? Itu uangnya setahu saksi ke mana?” tanya jaksa melanjutkan.
“Saya enggak ngerti pak,” kata Prasetyo Edi.
Adapun Prasetyo Edi bersaksi bagi terdakwa eks Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan, pemilik manfaat (beneficial owner) PT Adonara Propertindo Rudy Hartono, dan mantan Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian.
Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Yoory Corneles Pinontoan bersama dengan Rudy Hartono dan Tommy Adrian telah merugikan keuangan negara sebesar Rp256 miliar terkait pengadaan lahan di Kelurahan Pulo Gebang.
Kerugian ratusan miliar yang dilakukan oleh Perumda Sarana Jaya tahun untuk proyek pengadaan lahan 2018-2019 itu diketahui dari laporan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Nomor: PE.03.03/SR/SP-85/D5/02/2023 tanggal 30 Januari 2023.
“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp 256.030.646.000,” kata jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12/2023).
Jaksa membeberkan, perbuatan Yoory ini telah memperkaya dirinya sendiri sebesar Rp31.817.379.000 dan Rudy Hartono sejumlah Rp224.213.267.000.
Diketahui, Perumda Sarana Jaya merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang bergerak di bidang properti berupa penyediaan tanah, pembangunan perumahan dan bangunan (umum serta komersil).
Perusahaan ini juga melaksanakan proyek-proyek penugasan dari Pemprov DKI Jakarta diantaranya "Pembangunan Hunian DP 0 Rupiah".
Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, Perumda Sarana Jaya mendapatkan Penyertaan Modal Daerah (PMD) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Jaksa KPK menyebut, Yoory selaku Direktur Utama PPSJ mengajukan permohonan pemenuhan kecukupan modal perusahaan PPSJ Tahun 2018 kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk dianggarkan dalam APBD-P Pemprov DKI Jakarta TA 2018 sejumlah Rp935.997.229.164 pada tanggal 28 Maret 2018.
Uang hampir Rp1 triliun itu rencana digunakan untuk pembangunan awal proyek Kelapa Village Pondok Kelapa Jakarta Timur (Hunian DP 0 Rupiah) dengan anggaran senilai Rp128.565.672.478.
Kemudian, pembangunan awal proyek Lebak Bulus Jakarta Selatan dengan anggaran senilai Rp189.534.778.305 dan pembebasan tanah dan pengembangan Proyek Sentra Primer Tanah Abang (SPTA) Jakarta Pusat dengan anggaran senilai Rp262.500.000,000.
Berikutnya, pengadaan tanah dan pelaksanaan pembangunan tower Rusunami untuk Hunian DP 0 Rupiah di DKI Jakarta dengan anggaran senilai Rp355.396.778.381.
Singkatnya, Rudi Hartono dan orang kepercayaannya, Tommy Adrian menemui Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi DKI Jakarta, Taguh Hendrawan untuk dikenalkan kepada Yoory guna menawarkan tanah Pulo Gebang.
Padahal, lahan seluas 41.876/meter persegi yang dijual kepada Perumda Sarana Jaya bermasalah.
“Karena Rudy Hartono dan Tommy Adrian mengetahui bahwa Perumda Sarana Jaya membutuhkan lahan untuk merealisasikan program Hunian DP 0 Rupiah,” ungkap jaksa KPK.
Selain kepada Teguh Hendrawan, Rudy dan Adrian juga meminta bantuan Anggota DPRD DKI Jakarta Judistira Hermawan dan Mohamad Taufik untuk mengubungi Yoory agar tanah di Pulo Gebang dibeli oleh Perumda Sarana Jaya.
Dalam dalwaan disebutkan, terjadi kongkalikong antara Rudy Hartono, Tommy Adrian dengan Yoory Corneles untuk membeli lahan tersebut.
Keputusan pembelian tanah Pulo Gebang dan negosiasi harga tersebut tidak sesuai dengan standar operasinal prosedur karena dilakukan tanpa adanya kajian analisa Permunda Sarana Jaya.
Selain itu, pembelian ini juga dilakukan tanpa adanya penilaian/appraisal dari konsultan yang ditunjuk oleh Parumda Sarana Jaya dan tanpa didahului rapat pleno Direksi Perusahaan BUMN Pemprov DKI itu.
“Akhirnya terdakwa Yoory Corneles sepakat untuk membeli tanah Pulo Gebang dengan harga Rp6.950.000,00/m2, dimana penentuan harga dilakukan tanpa disertai kajian terhadap tanah tersebut,” jelas jaksa.
“Selain itu Tommy Adrian juga menjanjikan kepada terdakwa Yoory Corneles akan memberikan fee senilai 10 persen,” imbuhnya.
Atas perbuatannya, Yoory disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.