Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penetapan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terhadap eks Wamenkumham Eddy Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut harus batal demi hukum.
Adapun hal itu diungkapkan Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa saat dihadirkan kubu Eddy Hiariej sebagai saksi dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/1/2024).
Eva beralasan bahwa penetapan tersangka terhadap Eddy hanya diputuskan oleh empat orang pimpinan KPK dan dianggap tak memenuhi unsur kolektif kolegial.
Pernyataan Eva itu bermula ketika tim biro hukum KPK bertanya perihal penetapan tersangka terhadap Eddy Hiariej apakah tak kolektif kolegial lantaran hanya diputuskan oleh empat komisioner KPK.
"Terkait dengan pengambilan keputusan jumlah pimpinan KPK yang UU KPK memang berjumlah 5. Nah kalau menurut ahli apakah jika pimpinan sekarang ini 4 kemudian mengambil keputusan, apakah itu tidak bisa dikatakan kolektif kolegial?," tanya Tim Biro Hukum KPK.
Mendengar pertanyaan itu, lalu Eva pun mengamini bahwa memang benar keputusan yang diambil oleh pimpinan KPK itu tak kolektif kolegial.
Ia pun beralasan bahwa korupsi sebagai kasus yang bersifat luar biasa sehingga dalam pengambilan keputusan termasuk penetapan tersangka juga harus dilakukan dengan hal yang luar biasa pula.
"Ketentuan di dalam UU 30/2002 itu rigid, harus kolektif kolegial lima. Seperti yg tadi saya katakan bahwa 5 tidak boleh ditafsirkan lain kecuali lima," ucap Eva.
Tim Biro Hukum KPK pun mempertanyakan kembali pernyataan yang dilayangkan Eva dengan mengatakan apakah keputusan itu tak sah lantaran hanya diambil oleh 4 pimpinan.
Akan tetapi belum selesai bertanya, tim kuasa hukum Eddy Hiariej langsung memotong pertanyaan yang dilontarkan tim hukum KPK lantaran apa yang ditanyakan sudah diingkapkan sebelumnya.
Alhasil Tim Biro Hukum KPK pun mengganti pertanyaanya kepada Eva.
"Kalau begitu saya ganti pertanyaanya. Kalau misalnya keputusan yang diambil pimpinan KPK kurang dari lima, menurut ahli gimana?," tanya Biro Hukum.
Eva pun lantas menjawab bahwa keputusan yang diambil harus batal demi hukum.
"Karena sudah sesuai dengan UU (undang-undang). (Harus) batal demi hukum," jelasnya.
Namun saat itu Biro Hukum KPK sempat menjelaskan bahwa terdapat regulasi di internal KPK yang mengatakan bahwa keputusan yang diambil tetap bersifat kolektif kolegial meski tak berjumlah lima orang.
Lantas ia pun bertanya bagaimana pandangan Eva mengenai apa yang diatur di internal KPK tersebut.
"Kalau ada regulasi di KPK yang mengatur tentang pengambilan keputusan kurang dari lima pimpinan, menurut ahli gimana?," tanya Biro Hukum KPK.
Eva pun bersikukuh dengan pandangannya.
Sebab menurutnya lantaran korupsi kasus yang bersifat luar biasa maka ketentuan yang ada di KPK itu tidak bisa melawan peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-undang.
"Jadi ketentuan yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Misalnya ambil contoh dalam Perkap (Peraturan Kapolri) dengan UU Kepolisian atau KUHAP maka perkap itu batal demi hukum," tegasnya.
"Untuk menyatakan batal demi hukum suatu peraturan itu pakai mekanisme yang seperti apa?," tanya lagi Biro Hukum KPK.
"Saya kira ketika melihat ada pertentangan itu maka otomatis norma itu menjadi tidak berlaku," pungkas Eva.
Sebelumnya, Kuasa hukum Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Syarief Hiariej alias Eddy Hiariej yakni Luthfie Hakim meminta majelis hakim mengabulkan permohonan praperadilan kliennya.
Dalam petitum permohonan kuasa hukum menyebutkan, penetapan tersangka kliennya sewenang-wenang.
Adapun hal itu disampaikan kuasa hukum Luthfie pada sidang praperadilan perdana kliennya di PN Jakarta Selatan, Senin (22/1/2024).
Diketahui KPK telah menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam administrasi hukum umum (AHU) di Kemenkumham RI.
"Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum pemohon menyampaikan permohonan kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Melalui Hakim pemeriksa dan pemutus perkara a quo berkenan memeriksa dan menjatuhkan putusan sebagai berikut," kata kuasa hukum Luthfie di persidangan.
Ia melanjutkan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan dari pemohon Edward Omar Sharif Hiariej seluruhnya.
"Menyatakan bahwa perbuatan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka merupakan perbuatan yang sewenang-wenang. Karena tidak sesuai dengan prosedur dan bertentangan dengan hukum dan dinyatakan batal," sambungnya.
Luthfie juga meminta majelis hakim untuk menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat penetapan tersangka.
Diketahui KPK telah menetapkan Helmut Hermawan bersama tiga orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam administrasi hukum umum (AHU) di Kemenkumham RI.
Tiga tersangka yakni eks Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej serta dua orang dekat Eddy, Yosi Andika Mulyadi (pengacara) dan Yogi Arie Rukmana (asisten pribadi Eddy Hiariej).
KPK baru menahan Helmut, sementara Eddy Hiariej dan dua tersangka lainnya belum dilakukan penahanan.
Menurut temuan KPK, Eddy Hiariej melalui Yosi dan Yogi telah menerima uang Rp8 miliar terkait dengan konsultasi hukum perihal AHU PT CLM dan penghentian permasalahan hukum Helmut di Bareskrim Polri.
Imbas dari kasus tersebut, Eddy Hiariej mengundurkan diri dari jabatan Wamenkumham.
Selain itu, Eddy Hiariej, Yosi, dan Yogi telah menggugat KPK ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin, 4 Desember 2023.
Namun, belakangan Eddy, Yosi, dan Yogi mencabut permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan, per hari ini, Rabu, 20 Desember.
Akan tetapi, Eddy Hiariej kembali mengajukan gugatan praperadilan untuk melawan status tersangka di KPK.
Gugatan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 3 Januari 2024.