TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan kalau presiden boleh berkampanye, boleh memihak.
Menurut Presiden setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik.
Presiden Jokowi menyatakan pejabat boleh berkampanye, bahkan presiden sekalipun boleh berkampanye.
Menurut Jokowi yang paling penting adalah saat berkampanye cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Guru Besar Ilmu Politik & Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Muradi berharap presiden Jokowi mempertimbangkan pernyataanya karena ucapan Jokowi tersebut dapat merusak sendi-sendi politik negara.
"Ini (pernyataan Jokowi) akan merusak sendi-sendi politik kita."
"Saya berharap Presiden mempertimbangkan betul, tidak melakukan kegiatan yang merusak demokrasi," ungkap Prof. Muradi dalam wawancara eksklusif Tribunnews On Focus, Rabu (24/1/2024).
Dengan pernyataan presiden yang demikian, dia menilai banyak orang di negeri ini menjadi bingung terkait apa yang mau diperjuangkan oleh kepala negara untuk demokrasi.
"Karena salah satu hal penting yang menjadi penting adalah bagaimana menjaga demorkasi kita dalam rel yang betul," jelasnya.
"Dalam kondisi hari ini, rel itu kemudian agak digesek-gesek arahnya, itu yang kemudian dalam beberapa kasus orang kemudian merasa ini negara sudah dalam posisi yang tidak cukup baik," ucapnya.
"Kenapa? Karena presidennya sudah dalam posisi tidak berada dalam rel yang betul," jelasnya kemudian.
Dijelaskan seorang presiden itu memiliki dua tugas yakni sebagai kepala negara dan tugas presiden sebagai kepala pemerintahan.
"Yang harus dijaga dalam konteks penguatan demokrasi adalah bagaimana memperkuat posisi pak Jokowi sebagai kepala negara."
"Artinya semua diayomi," ujarnya.
Menurut dia, posisi dan sikap presiden yang mengambil jarak dan mengayomi kepada semua calon menjadi penting untuk menjaga dan menguatkan demokrasi di negeri ini.
"Bahwa kemudian misalnya ada anaknya yang maju sebagai cawapres saya kira publik akan menilai."
"Tidak kemudian pada posisi, misalnya 'saya juga boleh kampanye kok'."
"Kalau posisi seperti ini, maka negara menjadi tidak terurus dengan baik," dia menjelaskan.
Untuk itu opsi cuti, kata dia, jauh lebih elegan dan terhormat bagi seorang presiden.
Sehingga bisa total memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
"Lebih baik presiden itu mengambil cuti kalau ingin aktif untuk melakukan upaya pemenangan misalnya nomor sekian yang dimana anaknya menjadi cawapres."
"Itu jauh lebih elegan lebih terhormat," ucapnya.
Jika langkah itu yang diambil, menurut dia, presiden akan memberikan pendidikan politik yang baik terkait bagaimana berlaku dan bersikap adil.
Lengkapnya, mari saksikan video wawancara eksklusif Tribunnews On Focus bersama Guru Besar Ilmu Politik & Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Muradi .(*)