News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gugatan UU Kejaksaan, Pemohon Ungkit Cerita Johanis Tanak Pernah Dipanggil Jaksa Agung

Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung Kejaksaan Agung RI. Seorang jaksa menggugak UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi menangani gugatan uji materiil Undang-Undang Kejaksaan.

Kali ini, materi yang digugat mengenai syarat pengangkatan Jaksa Agung.

Pemohon yang merupakan seorang jaksa, meminta agar MK mempertimbangkan afiliasi dengan partai politik yang tak dimasukkan ke dalam syarat Jaksa Agung di Pasal 20 Undang-Undang Kejaksaan.

"Sudah seharusnya ada pengaturan yang menyatakan bahwa jabatan Jaksa Agung hanya dapat diberikan oleh Presiden kepada seorang yang bebas dari afiliasi partai politik manapun," kata Jovi Andrea Bachtiar dikutip dari dokumen permohonannya di laman tacking perkara MK, Senin (5/2/2024).

Dalam argumen permohonannya, pemohon mengungkit kisah Eks Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tengah, Johanis Tanak yang kini menjadi Pimpinan KPK.

Baca juga: UU Kejaksaan Digugat ke MK, Pemohon Minta Jaksa Agung Tak Terafiliasi Partai Politik

Saat itu diketahui Korps Adhyaksa dipimpin oleh Muhammad Prasetyo, sebelumnya merupakan Anggota DPR yang diusung sebuah parpol.

"Apabila merujuk pada pernyataan bapak Johanis Tanak, eks Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat Fit and Proper Test Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, secara tidak langsung telah terbukti besarnya intervensi yang terjadi dalam penegakan hukum kalau jabatan Jaksa Agung diberikan kepada seseorang yang baru saja atau masih ada afiliasi politik dengan partai politik tertentu," katanya.

Kondisi saat itu, jajaran Johanis Tanak di Kejati Sulteng sedang menangani dugaan perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan eks Gubernur Sulawesi Tengah, Mayor Jenderal (Purn) Bandjela Paliudju.

Tanak pun dipanggil untuk menghadap Prasetyo.

Baca juga: DPR Minta MK Tolak Permohonan Uji Materiil UU Kejaksaan Tipikor dan KPK

Saat menghadap, dia ditanya Prasetyo mengenai sosok Bandjela yang diperiksa di Kejati Sulteng.

"Johanis Tanak menceritakan kepada Panitia Seleksi Capim KPK dengan berkata, 'Kamu tahu siapa yang kamu periksa? Saya bilang tahu, dia adalah pelaku dugaan tindak pidana korupsi, Mantan Gubernur, Mayor Jenderal Purnawirawan, putra daerah. Selain itu enggak ada lagi," katanya.

Setelah itu, Prasetyo menegaskan kepada Tanak bahwa Bandjela merupakan Ketua Dewan Penasihat Nasdem di Sulteng.

Mendengar itu, Tanak mengaku siap menerima arahan Prasetyo yang saat itu menjabat Jaksa Agung.

"Johanis Tanak lebih lanjut berkata; Saya tinggal minta petunjuk saja ke bapak, saya katakan siap, bapak perintahkan saya hentikan, saya hentikan. Bapak perintahkan tidak ditahan, saya tidak tahan, karena bapak pimpinan tertinggi di Kejaksaan yang melaksanakan tugas-tugas Kejaksaan, kami hanya pelaksanaan," kata Jovi, menceritakan pertemuan Tanak dengan Prasetyo dalam dokumen permohonannya.

Namun, saat itu Tanak menyarankan agar Prasetyo menggunakan momentum tersebut untuk membuktikan bahwa dia tak membawa kepentingan parpol.

Bukan sebaliknya, memberi arahan untuk melepaskan Bandjela yang notabene merupakan kader parpol yang pernah menaungi Prasetyo.

"Ketika itu saya sampaikan, ketika bapak diangkat dan dilantik Jaksa Agung, bapak ini tidak layak menurut media, tidak layak jadi Jaksa Agung karena bapak diangkat, diusung dari golongan parpol Bapak, yaitu NasDem. Mungkin ini momen yang tepat untuk bapak buktikan karena ini dari golongan partai politik."

Dari cerita itulah pemohon berpandangan pentingnya Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 20 Undang-Undang Kejaksaan.

Hal itu dimaksudkan untuk menutup celah bagi seseorang yang terfiliasi dengan parpol untuk menjadi Jaksa Agung.

"Terdapat urgensi bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan penjelasan tersebut untuk memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 20 UU Kejaksaan, yaitu harus adanya syarat yang membatasi bahkan menutup kesempatan bagi seorang yang sedang atau pernah terdaftar sebagai anggota partai politik untuk diangkat menjadi Jaksa Agung," katanya.

Berikut merupakan bunyi Pasal 20 Undang-Undang Kejaksaan yang dimohonkan uji materiil;

Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Berijazah paling rendah Sarjana Hukum;
e. Sehat jasmani dan rohani; dan f. Berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela

Dalam petitumnya, pemohon ingin agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

"PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan atau mengeluarkan putusan Menyatakan bahwa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar pemohon.

Alasannya, pasal tersebut tidak mencantumkan ketentuan agar Jaksa Agung yang dipilih tak terafiliasi parpol.

Menurut Jovi, pasal tersebut mesti diisi dengan poin tambahan mengenai larangan calon Jaksa Agung terafiliasi parpol.

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak mencakup juga syarat: Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 (lima) tahun keluar dari keanggotaan partai politik baik diberhentikan maupun mengundurkan diri."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini