Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 16 kasus serangan yang menyasar setidaknya 34 pembela HAM yang bersuara kritis terhadap pemerintah sejak masa kampanye Pemilu hingga sehari jelang Pemungutan Suara pada 14 Februari 2024.
Serangan tersebut mencakup laporan polisi, intimidasi, dan serangan fisik.
Baca juga: Amnesty International Sebut Populasi Rafah Bertambah 5 Kali Lipat Selama Perang Gaza
Amnesty memandang dinamika Pemilu 2024 diwarnai oleh banyak intimidasi dan pembatasan terhadap suara kritis, terutama kritik atas penyelenggaraan pemilu.
Berbagai pembatasan, berdasarkan catatan Amnesty terjadi selama periode kampanye hingga masa penghitungan hasil pemungutan suara.
"Sasarannya termasuk pegiat seni, jurnalis, dan akademisi yang vokal. Ada pula sasaran yang mengarah kepada pihak yang bersuara kritis seputar kecurangan pemilu, termasuk yang berasal dari pendukung kubu yang berlawanan dengan kubu yang didukung Presiden Joko Widodo," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam siaran pers pada Jumat (23/2/2024).
Baca juga: Audiensi ke KPU, Amnesty International Minta Pelanggaran HAM Berat Masuk di Debat Pilpres
Salah satu yang menonjol, kata dia, adalah intimidasi dan pembatasan kalangan sivitas akademika yang bersuara kritis mengenai pemilu.
Usman melanjutkan hal tersebut dari mulai intimidasi atas sejumlah akademisi Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Semarang, hingga pembubaran acara diskusi di Universitas Negeri Yogyakarta.
Ia mengatakan data tersebut menambah jumlah serangan yang terjadi selama periode 2019 hingga 2023, yaitu 363 kasus dengan sedikitnya 1033 korban.
Serangan tertinggi, lanjut dia, dengan 268 korban terjadi sepanjang tahun 2023.
Di luar isu Pemilu, kata Usman, pembatasan terus terjadi.
Peristiwa terbaru, kata dia, adalah batalnya acara Nonton Bareng film Eksil di Samarinda, Kalimantan Timur, (22/2/2024) di mana pihak bioskop tiba-tiba mensyaratkan izin keramaian polisi kepada Aksi Kamisan Kaltim sebagai penyelenggara.
“Batalnya pemutaran film itu mencederai hak berekspresi, berkumpul secara damai, bahkan berkesenian. Itu adalah karya seni yang sarat pesan kemanusiaan. Seharusnya dilindungi, apalagi karena menyajikan kisah korban Tragedi 1965 di luar negeri yang selama ini tidak banyak diketahui publik,” kata Usman.
“Apakah film ini menguak pelanggaran HAM oleh negara di masa lalu? Negara sekarang seharusnya melindungi prakarsa tersebut. Pihak CGV juga harus menjelaskan duduk perkara izin keramaian yang berujung pembatalan pemutaran film Eksil,” lanjut Usman.