TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Direktur Eksekutif Makara Strategic Insight Resarch, Andre Priyanto mengingatkan, bahaya politik praktis pasca Pemilu 2024, menyusul bergabungnya Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju, sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Andre menilai, pengangkatan AHY hanya sebagai salah satu strategi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperkuat cengkraman koalisinya.
Padahal selama ini, AHY gencar mengkritik pemerintahan Jokowi, terutama terkait kasus Pulau Rempang di Provinsi Kepulauan Riau.
“Rekrutmen menteri merupakan hak prerogatif presiden, tapi ini menyiratkan politik praktis secara terang-terangan. Harus diingat Mas AHY mundur dari TNI karena kekhawatiran ayahnya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atas karier AHY sebagai anggota terbaik TNI. Kemudian yang kedua, Partai Demokrat sebelumnya keras mengkritik pemerintahan terkait dengan kasus Pulau Rempang,” kata Andre di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).
Andre menegaskan, manuver politik praktis kerap dipraktikkan kalangan elite karena ketegangan yang terjadi di antar elite politik sangat kuat, apalagi di antara mereka yang ingin setia pada misi dan yang merindukan jabatan di pemerintahan.
Menurutnya, politik praktis tidak sejalan dengan cita-cita bangsa yang bersifat dinamis dan krusial.
“Demi modernisasi lembaga-lembaga politik tradisional atau kolonial dan konsolidasi negara-negara baru, atau yang bangkit kembali, dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah menghasilkan banyak sekali pemikir politik di Asia Tenggara."
"Apakah mereka terlibat pada perjuangan nasionalis di dalam negeri atau di pengasingan, baik dalam keadaan bebas atau dalam tahanan, para pemimpin nasional menyiapkan diri dan memimpin perjuangan rakyat untuk mencapai kemerdekaan secara sistematis,” jelasnya.
Menurut Andre perumusan prinsip-prinsip teoritis yang akan mengatur eksistensi bangsa-bangsa di Asia Tenggara, seharusnya berjalan baik setelah tahun-tahun pencapaian kedaulatan.
Saat ini, lanjut Andre, politik di Asia Tenggara tidak memiliki kejelasan tujuan dan ketegasan arah.
Lembaga-lembaga yang diadopsi, baik atas dasar penerimaan eksplisit terhadap teori-teori politik asing atau tanpa perenungan mendalam tentang filosofi implisit.
Setelah beberapa tahun berupaya membuat teori berhasil, terungkap adanya ketidaksesuaian pandangan dunia yang tertanam dalam budaya rakyat di suatu negara.
“Daerah dan kebiasaan yang dibentuk sejarah mengakibatkan pemikiran atas anggapan mendasar, diabaikan selama bertahun-tahun karena persiapan dan perjuangan. Ini harus dilakukan di bawah tekanan seiring meningkatnya kesulitan dalam negeri dan tantangan ideologis dari negara-negara Barat,” ungkapnya.
Fakta sekarang ini, kata Andre, para elite politik seolah-olah mengklaim hak untuk menentukan nasib bagi negaranya.
“Ini menyiratkan mereka sebagai pemimpin yang terpisah dari rakyat. Akhirnya, para pemimpin mempunyai kualifikasi sama dengan kaum imperialis, pada masa lalu. Ini yang kemudian menjadi kekhawatiran kita atas politik praktis” pungkas Andre. (**)