TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyebut Kantor Urusan Agama (KUA) selain menjadi tempat pencatatan pernikahan bagi umat muslim, juga direncanakan akan dijadikan tempat pencatatan pernikahan bagi umat non-muslim.
Hal itu disampaikan Menag Yaqut saat Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam bertajuk 'Transformasi Layanan dan Bimbingan Keagamaan Islam sebagai Fondasi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan', Sabtu (24/2/2024).
"Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama."
"KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama," ucap Menag Yaqut.
"Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang non-muslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal, itu harusnya menjadi urusan Kementerian Agama," lanjut Menag dalam rapat yang dilangsungkan di Jakarta tersebut.
Dengan mengembangkan fungsi KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam, Menag berharap data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik.
Menag juga berharap aula-aula yang ada di KUA dapat dipersilakan untuk menjadi tempat ibadah sementara bagi umat non-muslim yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain.
Respons Muhammadiyah
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan wacana tersebut perlu dikaji ulang lantaran, diperlukan hearing dari sejumlah pihak, khususnya organisasi-organisasi agama dan kementerian terkait lain.
"Perlu dilakukan kajian komprehensif terkait dengan kesiapan dan dampak yang ditimbulkan, mempertimbangkan dengan seksama, manfaat dan madlaratnya," kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (26/2/2023).
Ia mengatakan, gagasan integrasi pencatatan pernikahan dan perceraian memang sangat diperlukan.
Terlebih, penertiban pernikahan yang tidak tercatat di dalam administrasi perlu ditertibkan.
Misalnya pernikahan di bawah tangan (sirri) dan pernikahan agama.
"Dikotomi antara pernikahan 'agama' dan negara tidak seharusnya dibiarkan terus terjadi."
"Selain menimbulkan masalah sosial, pernikahan agama juga menimbulkan masalah dikotomi hukum agama dan negara," jelas Abdul Mu'ti.
MUI
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud meminta Kementerian Agama (Kemenag) melakukan diskusi komprehensif mengenai rencana KUA yang akan menjadi tempat pencatatan pernikahan semua agama.
Menurutnya, wacana tersebut perlu dikomunikasi secara baik dan mendetail terlebih dahulu kepada seluruh pihak yang nantinya akan bersinggungan terkait rencana tersebut, khususnya para pemangku agama lainnya.
"Ketika pemerintah mau melakukan hal yang urusannya dengan agama, seperti pernikahan, itu kewajiban dan pekerjaan pemerintah untuk mengatur, tapi saya harap untuk bisa dimusyawarahkan dengan seluruh agama yang ada," ungkap dia saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (26/2/2024).
Harapannya jika dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh pemangku agama lain, tidak terjadi kesalahpahaman aturan.
"Jangan sampai nanti ada kebijakan belum paham, belum nyambung, sehingga yang tidak paham jadi bisa menolak," tutur Kiai Marsudi.
Ia memaparkan, terkait Sumber Daya Manusia (SDM) jadi catatan yang krusial dalam aturan ini.
Hendaknya ada petugas dari berbagai agama di satu KUA yang akan mencatat pernikahan masyarakat.
Kiai Marsudi berharap rencana ini bisa direalisasikan saat semua regulasi siap misalnya prasarana, SDM serta hal lainnya alias tidak semrawut.
"Nanti kalau KUA mencatat semua pasti disitu yang menikahkan muslim ya pasti muslim, yang non-muslim ya non-muslim (menikahkan)."
"Berati di KUA ada petugas yang berbeda-beda sesuai agama," jelasnya.
"Kalau bisa semua regulasinya (siap), supaya tidak salah paham," sambung Kiai Marsudi.
Respon PGI
Melalui Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) PGI Henrek Lokra, PGI berharap wacana tersebut dapat dipertimbangkan dengan matang, lantaran di agama Kristen, pernikahan menjadi urusan private.
"Sebaiknya dipertimbangkan dengan matang."
"Sebab di Kristen, pernikahan itu urusan private, dan tempatnya di Catatan Sipil."
"Gereja bertugas memberkati sebuah pernikahan yang adalah wilayah private seseorang," kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (27/2/2023).
Ia menegaskan tugas Gereja adalah memberkati Penikahan yang telah dicatatkan dalam adminduk.
Sementara negara mengurus administrasi penduduk. Sehingga rencana tersebut harus benar-benar dikaji lebih dalam.
"Tugas Gereja adalah memberkati Penikahan yg telah dicatatkan dalam adminduk."
"Negara mengurus adminduk sudah tepat.
Baca juga: Menag Pastikan Tokoh Agama Terlibat Bahas KUA Jadi Tempat Nikah Semua Agama
Guru Besar UIN: Sangat Rasional
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menyambut baik rencana KUA sebagai tempat pelayanan bagi semua agama lantaran esensi Kementerian Agama melayani seluruh umat beragama.
“Ini gagasan out of the box namun sangat rasional karena sejatinya Kemenag adalah kementerian untuk semua agama. Dari sisi ide patut didukung oleh pelbagai pihak” kata Tholabi di Jakarta, dikutip Senin (26/2/2024).
Namun ada hal yang menjadi catatan agar rencana tersebut berjalan dengan optimal.
Seperti konsolidasi melalui berbagai aspek, baik regulasi, organisasi, maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM).
“Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu sejumlah aspek seperti regulasi, organisasi, hingga SDM harus dibereskan terlebih dahulu,” ungkap Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta ini.
Kemudian, dari sisi regulasi secara eksplisit maupun implisit masih menempatkan pencatatan perkawinan di dua klaster, yakni pencatatan perkawinan untuk Muslim dan pencatatan perkawinan bagi non Muslim.
Seperti di UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan UU Nomor 22 Taun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Lalu, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
Serta PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA).
Baca juga: Dukung KUA jadi Tempat Nikah Semua Agama, Menko PMK: Sifatnya Sukarela
Regulasi ini pun berdampak pada persinggungan dengan kementerian dan lembaga lainnya seperti dalam urusan koordinasi dan harmonisasi, baik dari sisi regulasi maupun pemindahan beban kerja antarinstansi.
Saat ini Kantor Urusan Agama (KUA) berada di bawah Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Meski demikian, perihal penyesuaian organisasi di internal kementerian tidak begitu krusial.
“Saya kira, jika urusan internal organisasi di Kementerian Agama tidak terlalu rumit, tinggal reposisi dan membuat payung hukum saja,” kata Tholabi.
Di aspek lainnya, kesiapan SDM di lapangan juga harus dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas dan pengetahuan demi pelayanan yang prima kepada masyarakat.
Respon DPR
Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi mengatakan, dirinya mendukung rencana menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pencatatan dan tempat pernikahan semua agama di Indonesia.
Hanya saja, Kahfi meminta rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tersebut harus dilakukan kajian secara matang.
“Saya pada prinsipnya mendukung ide bahwa Kementerian Agama harus melayani semua agama, saya menekankan pentingnya kajian mendalam dan persiapan yang matang,” kata Kahfi kepada wartawan , Senin,(26/2/2024).
Kahfi menyebut, kajian mendalam dan persiapan matang Kementerian Agama meliputi dialog dengan pemuka agama dan komunitas dari semua agama.
Dia juga mengingatkan pentingnya kajian dampak sosial serta penyiapan regulasi dan SDM yang memadai sebelum mengimplementasikan rencana tersebut.
Baca juga: Menteri Agama Yakin Gagasan KUA Jadi Tempat Nikah Semua Agama Akan Terealisasi
“Kita harus memastikan kebijakan ini diimplementasikan dengan cara yang harmonis dan inklusif, sesuai dengan semangat keragaman dan toleransi yang menjadi fondasi bangsa Indonesia,” ucapnya.
Kahfi meminta agar rencana untuk menjadikan KUA tempat mencatat pernikahan semua agama dapat dilihat dari sisi sosiologi agama.
“Dari sisi sosiologi agama, Indonesia adalah negara dengan keragaman agama yang sangat tinggi. Masing-masing agama memiliki tradisi dan prosedur pernikahannya sendiri,” ujarnya.
Dia berpendapat, untuk menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan semua agama juga membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang keragaman Indonesia.
“Lalu pentingnya sensitivitas terhadap kebutuhan dan harapan dari setiap kelompok agama,” ungkap Kahfi.
Kahfi menegaskan, Kemenag harus mempersiapkan banyak SDM lantaran pencatatan pernikahan semua agama mengharuskan pegawai KUA di Indonesia berlatar belakang semua agama.
“Memiliki pengetahuan dan pelatihan yang cukup tentang ritual dan hukum pernikahan dari berbagai agama. Dan perlu riset lebih lanjut soal kebutuhan SDM, maupun pelatihan khusus untuk itu,” tegasnya.
Selain itu, kata dia, rencana menjadikan KUA tempat mencatat pernikahan semua agama turut memerlukan peninjauan dan alokasi anggaran yang jelas.
“Kita perlu memastikan dana yang dibutuhkan untuk rekrutmen dan pelatihan SDM, penyesuaian infrastruktur, dan kebutuhan operasional lainnya dapat dipenuhi. Pastinya ini butuh anggaran sangat besar,” tuturnya.(TRIBUN NETWORK/Willy Widianto/Rina Ayu/Fersianus Waku)