News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bagaimana Bisa 1000 Mahasiswa RI Tertipu Magang Palsu di Jerman? Jalani 'Kerja Paksa' 14 Jam Sehari

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kasus TPPO berkedok program magang ini terungkap setelah empat mahasiswa mendatangi KBRI di Jerman yang sedang mengikuti ferien job.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 1.047 mahasiswa diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus program magang di Jerman. Bagaimana ini bisa terjadi?

Kasus TPPO ini terungkap setelah adanya laporan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Jerman yang mendapat aduan dari empat orang mahasiswa setelah mengikuti program Ferienjob di Jerman.

Mereka mengaku dieksploitasi dan dipekerjakan secara ilegal.

KBRI Jerman lantas melakukan pendalaman hingga diketahui ada sekitar 33 universitas di Universitas yang menjalankan program Ferienjob ke Jerman.

Sejauh ini diketahui para mahasiswa tersebut diberangkatkan oleh tiga agen tenaga kerja di Jerman.

Diketahui. para mahasiswa awalnya mendapatkan sosialisasi dari PT CVGEN dan PT SHB adanya program magang di Jerman.

Saat mendaftar mahasiswa diminta membayar biaya sebesar Rp150 ribu ke rekening PT CVGEN dan membayar sebesar 150 Euro untuk pembuatan letter of acceptance (LOA) kepada PT SHB.

Para mahasiswa juga harus membayar dana talangan sebesar Rp30.000.000 sampai Rp 50.000.000.

Dana talangan itu nantinya dipotong dari penerimaan gaji setiap bulan.

Setiba di Jerman, para mahasiwa diberikan surat kontrak kerja oleh PT SHB untuk kemudian didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman dalam bentuk bahasa Jerman yang tidak dipahami.

Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Mabes Polri mengungkap kasus dugaan TPPO ini modus pengiriman program magang mahasiwa ke negera Jerman melalui program Ferein Job.

Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Djuhandhani Rahardjo Puro membebeberkan, pengungkapan kasus bermula ketika empat mahasiwa yang sedang mengikut program Fereinjob mendatangi Kedutaan Republik Indonesia (KBRI) Jerman untuk melapor.

“Setelah dilakukan pendalaman hasil dari KBRI mengungkap bahwa program ini dijalankan oleh 33 Universitas di Indonesia,” kata Djuhandhani seraya menjelaskan kronologinya.

  • Para mahasiswa mendapat sosialisasi dari CVGEN dan PT SHB. Mereka dibebankan biaya pendaftaran sebesar Rp150 ribu dan membayar 150 Euro untuk membuat LOA (Letter Of Acceptance).
  • Para mahasiswa juga harus membayar dana talangan sebesar Rp30.000.000 sampai Rp 50.000.000.
  • Dana talangan itu nantinya dipotong dari penerimaan gaji setiap bulan.
  • Setiba di Jerman, para mahasiwa diberikan surat kontrak kerja oleh PT SHB untuk kemudian didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman dalam bentuk bahasa Jerman yang tidak dipahami.
  • Mereka mau tidak mau harus menandatangani surat kontrak kerja dan working permit. Para korban diminta untuk menjalankan ferienjob dalam waktu 3 bulan mulai dari Oktober 2023 sampai Desember 2023.
  • PT SHB, lanjut Djuhandhani, sudah menjalin kerjasama dengan Universitas yang sudah tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU).
  • Disebutkan bahwa ferienjob masuk ke dalam program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Mereka juga menjanjikan program magang yang dapat dikonversikan menjadi 20 SKS.
  • Namun, Direktorat Jenderal Bina Penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kemenaker mengungkap bahwa PT SHB tidak terdaftar sebagai P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) di data base mereka.
  • "Sehingga perusahaan tersebut tidak dapat digunakan untuk melakukan perekrutan dan pengiriman pekerja migran indonesia ke luar negeri untuk bekerja dan juga magang di luar negeri," jelas Djuhandani lebih lanjut.
  • Dalam hal ini Dittipidum Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan lima tersangka, seluruhnya warga negara Indonesia (WNI). Dua orang berada di Jerman.
  • Para tersangka terdiri dari SS (laki-laki) 65 tahun, AJ (perempuan) 52 tahun, MZ (laki-laki) 60 tahun.
  • Sedangkan kedua tersangka yang masih berada di Jerman yaitu ER alias EW (perempuan) 39 tahun, A alias AE (perempuan) 37 tahun.

Kesaksian korban

Seorang korban berinisial N, mahasiswi perguruan tinggi di Jawa, menuturkan pengalamannya menjadi korban TPPO dengan modus pengiriman program magang mahasiswa ke negara Jerman melalui program Ferienjob.

Sebagai informasi, ada 33 universitas di Indonesia yang tergabung dalam program yang disosialisasikan oleh PT CVGEN dan PT SHB.

Dikutip dari BBC Indonesia, N bertandang ke salah satu kota di Jerman pada awal Oktober 2023 untuk mengikuti program Ferienjob.

Ia berpikir, selain ikut program magang, dia juga bisa “jalan-jalan di luar negeri”.

“Waktu itu dipromosikan working and holiday [bekerja dan berlibur],” tuturnya kepada jurnalis BBC News Indonesia.

N mengaku percaya kegiatan Ferienjob karena ada testimoni dari tahun-tahun sebelumnya.

N dan teman-temannya diminta membayar Rp150.000 untuk pendaftaran. Setelah itu mereka harus membayar lagi untuk biaya pembuatan paspor, izin kerja, dan keperluan visa.

Secara total, biaya awal yang harus dibayarkan Nita dan rekan-rekannya adalah 550 euro (sekitar Rp9,4 juta) termasuk untuk urusan ZAV (kantor bursa pekerjaan spesialis Jerman) dan biaya ketibaan di Jerman.

Sayangnya, begitu sampai di Jerman, N dan teman-temannya kecewa karena haknya sebagai mahasiswa tidak terpenuhi.

Menurutnya, apa yang ia alami dan kerjakan di sana tidak sesuai dengan janji di awal.

Awalnya, Nita dan rekan-rekannya dijanjikan magang di Bandara Munich – tapi ternyata begitu sampai di Jerman, program magang di bandara itu tidak ada di daftar magang Ferienjob.

Mereka pun dipindahkan ke situs kerja lain – sebuah pabrik.

“Itu pun kami enggak langsung dikasih kerja. Kami harus menunggu dulu sekitar enam sampai tujuh hari,” ujarnya.

N bercerita beberapa rekannya diminta bekerja di konstruksi pekerjaan meski mereka perempuan dan sebagian lain magang di jasa ekspedisi dan harus mengangkat barang-barang sebesar 30 kilogram.

Bagi N, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.

Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.

“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini