TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satu per satu 'kelakuan' mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang menggunakan anggaran Kementerian Pertanian untuk keperluan pribadi dan keluarganya diungkap para anak buahnya.
Di antaranya saat SYL meminta anak buahnya 'mencarikan' dana untuk membiayai perjalanan dinas SYL ke beberapa negara seperti Brazil, Amerika Serikat hingga Arab Saudi.
Tak tanggung-tanggung nilainya mencapai Rp 1 miliar.
Bahkan untuk memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata SYL 'beli WTP'.
Baca juga: Pegawai Kementan Patungan untuk Bayar Gaji Pembantu SYL di Makassar Senilai Rp35 Juta
Hal ini tak cuma sekali tapi sudah menjadi kebiasaan di kementerian yang sempat dipimpin Syahrul Yasin Limpo itu.
Fakta-fakta tersebut terungkap dalam persidangan lanjutan kasus korupsi yang menjerat SYL, Rabu (8/5/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Berikut rangkuman hasil sidang SYL yang mengungkap kelakuan SYL terhadap anak buahnya:
1. Diminta Carikan Dana Perjalanan ke Luar Negeri
Syahrul Yasin Limpo disebut-sebut membebani anak buahnya untuk membiayai perjalanannya ke luar negeri hingga senilai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Hermanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan mengungkapkan, saat perjalanan ke Brazil pada Mei 2022, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan dibebankan Rp 600 juta.
"Ke Brazil, saya lupa bulannya, itu sekitar kurang lebih 600-an juta," ujar Hermanto saat bersaksi di persidangan Rabu (8/5/2024) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
"Di BAP saksi menyebut bulannya Mei 2022," kata jaksa penuntut umum KPK membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Hermanto di persidangan.
Baca juga: 4 Fakta Sidang Penyalahgunaan Dana oleh SYL saat Jadi Mentan: Gaji ART Hingga Sewa Jet Pribadi
"Mei ya, 2022," kata Hermanto.
Padahal, permintaan fasilitas Rp 600 juta itu menurut Hermanto bukan bagian dari anggaran Ditjen PSP Kementan.
"Pada saat itu di DIPA-nya tidak ada?" tanya jaksa.
"Tidak ada," jawab Hermanto.
Kedua, Ditjen PSP Kementan juga dibebankan Rp 200 juta untuk perjalanan SYL dan rombongan ke Amerika Serikat.
Ketiga, SYL dan rombongan juga difasilitasi hingga RP 1 miliar untuk perjalanan ke Arab Saudi.
"Amerika, itu kita diberi beban 200 juta. Kemudian dari Brazil, Amerika, kemudian Arab Saudi, itu kita dibebankan di PSP Rp 1 miliar," katanya.
Untuk memenuhi permintaan fasilitas ke luar negeri itu, Ditjen PSP Kementan membagi beban dengan direktorat-direktorat yang dinaungi.
SYL memang tidak meminta langsung fasilitas bernilai fantastis itu.
Namun permintaan datang dari Sekretaris Jenderal atau Biro Umum Kementan.
"Dari Pak Sekjen, Pak Dirjen, kemudian pak Dirjen ke saya. Kemudian pak Sekjen kadang-kadang juga langsung ke saya telepon, kemudian Pak Biro umum juga minta juga."
Sebagai informasi, SYL dalam perkara ini telah didakwa menerima gratifikasi Rp 44,5 miliar.
Total uang tersebut diperoleh SYL selama periode 2020 hingga 2023.
Baca juga: Cara SYL Dapat Uang Kementan demi Bayar Kebutuhannya: Pinjam Nama Staf, Buat Perjalanan Dinas Fiktif
"Bahwa jumlah uang yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai Menteri Pertanian RI dengan cara menggunakan paksaan sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sebesar total Rp 44.546.079.044," kata jaksa KPK, Masmudi dalam persidangan Rabu (28/2/2024) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Uang itu diperoleh SYL dengan cara mengutip dari para pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Pertanian.
Menurut jaksa, dalam aksinya SYL tak sendiri, tetapi dibantu eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono yang juga menjadi terdakwa.
Selanjutnya, uang yang telah terkumpul di Kasdi dan Hatta digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan dakwaan, pengeluaran terbanyak dari uang kutipan tersebut digunakan untuk acara keagamaan, operasional menteri dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam kategori yang ada, nilainya mencapai Rp 16,6 miliar.
"Kemudian uang-uang tersebut digunakan sesuai dengan perintah dan arahan Terdakwa," kata jaksa.
2. Ancaman Nonjob & Mutasi
Hermanto juga mengungkap adanya ancaman berupa bebas tugas alias non-job dan mutasi jabatan jika tak bisa memenuhi kebutuhan SYL.
"Apakah saudara pernah mendengar, apabila tidak memenuhi permintaan itu maka jabatannya dalam bahaya?" tanya Hakim Ketua, Rianto Adam Pontoh kepada saksi Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto di persidangan Rabu (8/5/2024).
"Iya. Itu dengar info di sekitar kita itu. Rahasia umum," jawab saksi Hermanto.
"Dinonjobkan?" tanya Hakim Pontoh lagi.
"Bisa nonjob, bisa dimutasikan," kata Hermanto.
Kebutuhan yang harus dipenuhi tak hanya SYL sendiri, tapi untuk keluarganya juga.
Perintah untuk memenuhi kebutuhan pribadi SYL dan keluarga datang secara berjenjang dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian ke para Direktur Jenderal hingga ke bawah.
"Pernah ndak ada instruksi langsung dari Sekjen untuk saudara, untuk memenuhi semua permintaan kebutuhan dari Pak Menteri dan keluarganya?" kata Hakim Pontoh.
"Kalau telepon tadi saya sampaikan di awal, Yang Mulia, itu setelah Pak Sekjen sampaikan ke Pak Sirjen, atasan saya. Kemudian Pak Dirjen ke saya," ujar Hermanto.
3. Bikin Perjalanan Fiktif dengan Pinjam Nama
Menurut Hermanto, kebutuhan pribadi SYL dan keluarganya yang harus dipenuhi tak ada dalam anggaran.
Karena itulah setiap Direktorat Jenderal harus mencari cara agar dapat memenuhinya.
Khusus di Ditjen PSP, mereka kemudian merevisi anggaran.
"Itu bukan proyek, tapi itu dalam DIPA di dukungan Ditjen kita pak," katanya.
Bahkan para pegawainya sampai harus membuat perjalanan fiktif dengan meminjam nama.
Selain itu, sumber uang untuk memenuhi permintaan-permintaan SYL juga diperoleh dari sisa uang perjalanan dinas pegawai Kementan.
"Bisa disisihkan, bisa diambil dipinjam nama. Secara teknis nanti di teman-teman Kepala TU-nya," kata Hermanto.
Tak hanya Hermanto, saksi lain juga mengamini adanya ancaman terkait jabatan jika tak memenuhi kebutuhan SYL dan keluarganya.
"Ya memang saya sampaikan di BAP kalau tidak salah, terancam akan dicopot atau dimutasi," ujar saksi Direktur Perbenihan Perkebunan Kementan, Gunawan di persidangan yang sama.
Terkai perkara ini, sebelumnya jaksa penuntut umum KPK telah mendakwa SYL atas penerimaan gratifikasi Rp 44,5 miliar.
Total uang tersebut diperoleh SYL selama periode 2020 hingga 2023.
"Bahwa jumlah uang yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai Menteri Pertanian RI dengan cara menggunakan paksaan sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sebesar total Rp 44.546.079.044," kata jaksa KPK, Masmudi dalam persidangan Rabu (28/2/2024) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Uang itu diperoleh SYL dengan cara mengutip dari para pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Pertanian.
Menurut jaksa, dalam aksinya SYL tak sendiri, tetapi dibantu eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono yang juga menjadi terdakwa.
Selanjutnya, uang yang telah terkumpul di Kasdi dan Hatta digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan dakwaan, pengeluaran terbanyak dari uang kutipan tersebut digunakan untuk acara keagamaan, operasional menteri dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam kategori yang ada, nilainya mencapai Rp 16,6 miliar.
"Kemudian uang-uang tersebut digunakan sesuai dengan perintah dan arahan Terdakwa," kata jaksa.
4. Beli WTP
Sementara itu terkait opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nyatanya sudah menjadi kebiasaan di Kementerian yang dipimpin Syahrul Yasin Limpo itu untuk 'Beli WTP'.
Hal ini terungkap saat jaksa penuntut umum membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) anak buah SYL, yakni Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto yang bersaksi di persidangan.
BAP itu mengungkap percakapan Hermanto dengan mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Muhammad Hatta yang juga duduk di kursi terdakwa seperti SYL.
"Ada juga disebut tidak, tahun-tahun sebelumnya juga sama 'bermain?'" tanya jaksa penuntut umum KPK dalam persidangan Rabu (8/5/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
"Saya enggak mendengar itu," jawab Hermanto.
"Kalau saksi lupa saya akan bacakan BAP: Pernah ada, katanya. Kalimat seperti itu, sebelum-sebelumnya juga main?" ujar jaksa, sembari melihat dokumen BAP Hermanto.
"Sebelum-sebelumnya juga seperti itu kok, katanya," kata Hermanto, membenarkan BAP tersebut.
Percakapan yang dibacakan di BAP itu terjadi ketika Hermanto dan Hatta bertemu untuk membahas permintaan Rp 12 miliar dari auditor BPK.
Permintaan auditor BPK bernama Victor itu mesti dipenuhi karena terdapat sejumlah temuan yang mengganjal Kementan memperoleh predikat WTP.
"Apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar menjadi WTP?" tanya jaksa penuntut umum.
"Ada. Waktu itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan. Rp 12 miliar oleh Pak Victor (Auditor BPK tadi)," jawab Hermanto.
Namun Kementan tak menyanggupi Rp 12 miliar, tetapi hanya Rp 5 miliar.
Uang Rp 5 miliar itu dipastikan diterima pihak BPK.
"Akhirnya apakah dipenuhi semua permintaan Rp 12 M itu atau hanya sebagian yang saksi tahu?" kata jaksa.
"Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar mungkin enggak salah sekitar Rp 5 miliar," ujar Hermanto.
Dengan dibayarkannya Rp 5 miliar ke BPK, tak lama kemudian Kementan memperoleh opini WTP.
"Selang beberapa lama kemudian keluar opininya?" ujar jaksa penuntut umum KPK.
"Keluar. WTP itu keluar," kata Hermanto.
SYL Berdalih ke Luar Negeri atas Perintah Jokowi
SYL berdalih bahwa perjalanannya ke Brazil yang menelan uang negara hingga ratusan juta rupiah karena perintah Presiden Joko Widodo.
SYL mengaku berangkat ke Brazil demi menyelesaikan permasalahan pertanian di Indonesia.
Permasalahan itu seperti harga bahan pangan yang naik.
"Perjalanan ke Brazil ini kan jauh banget, 34 jam. Kalian tahu enggak, isinya apa. Yang perintah saya kan negara, Presiden. Dan itu hasil keputusan Ratas," ujar SYL dalam sidang kasus korupsinya, Rabu (8/5/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Di sana itu ada persoalan dalam negeri yang lagi tidak baik-baik, antara lain harga tempe tahu lagi naik," kata SYL lagi.
Kemudian SYL juga menyinggung permasalahan harga pupuk yang saat itu sedang melonjak.
Karena masalah itu, dia mesti berangkat ke Venezuela.
"Saya harus berhadapan dengan pertemuan Rusia dan Ukraina di sana yang harus keluar dari Ukraina dan berada di apa namanya negaranya itu, Venezuela, hanya untuk membicarakan masalah pupuk," katanya.
SYL pun mengungkit-ungkit soal anggaran Kementan yang dipangkas cukup besar, hingga Rp 10 triliun.
"Sementara anggaran kita turun pak, dari 24 triliun menjadi 14 triliun," katanya.
Sebelumnya, anak buah SYL yang bersaksi di persidangan mengungkap bahwa fasilitas perjalanan SYL ke Brazil pada Mei 2022 mencapai Rp 600 juta.
Fasilitas itu dibebankan kepada Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan.
"Ke Brazil, saya lupa bulannya, itu sekitar kurang lebih 600-an juta," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto saat bersaksi di persidangan.
"Di BAP saksi menyebut bulannya Mei 2022," kata jaksa penuntut umum KPK membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Hermanto di persidangan.
"Mei ya, 2022," kata Hermanto.
Padahal, permintaan fasilitas Rp 600 juta itu menurut Hermanto bukan bagian dari anggaran Ditjen PSP Kementan.
"Pada saat itu di DIPA-nya tiadak ada?" tanya jaksa.
"Tidak ada," jawab Hermanto.
Adapun dalam perkara ini, SYL telah didakwa menerima gratifikasi Rp 44,5 miliar.
Total uang tersebut diperoleh SYL selama periode 2020 hingga 2023.
"Bahwa jumlah uang yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai Menteri Pertanian RI dengan cara menggunakan paksaan sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sebesar total Rp 44.546.079.044," kata jaksa KPK, Masmudi dalam persidangan Rabu (28/2/2024) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Uang itu diperoleh SYL dengan cara mengutip dari para pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Pertanian.
Menurut jaksa, dalam aksinya SYL tak sendiri, tetapi dibantu eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono yang juga menjadi terdakwa.
Selanjutnya, uang yang telah terkumpul di Kasdi dan Hatta digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan dakwaan, pengeluaran terbanyak dari uang kutipan tersebut digunakan untuk acara keagamaan, operasional menteri dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam kategori yang ada, nilainya mencapai Rp 16,6 miliar.
"Kemudian uang-uang tersebut digunakan sesuai dengan perintah dan arahan Terdakwa," kata jaksa.
Sebagai informasi, keterangan ini diberikan atas tiga terdakwa: Mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo; eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta; dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono.
Dalam perkara ini SYL telah didakwa menerima gratifikasi Rp 44,5 miliar.
Total uang tersebut diperoleh SYL selama periode 2020 hingga 2023.
"Bahwa jumlah uang yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai Menteri Pertanian RI dengan cara menggunakan paksaan sebagaimana telah diuraikan di atas adalah sebesar total Rp 44.546.079.044," kata jaksa KPK, Masmudi dalam persidangan Rabu (28/2/2024) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Uang itu diperoleh SYL dengan cara mengutip dari para pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Pertanian.
Menurut jaksa, dalam aksinya SYL tak sendiri, tetapi dibantu eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono yang juga menjadi terdakwa.
Selanjutnya, uang yang telah terkumpul di Kasdi dan Hatta digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan dakwaan, pengeluaran terbanyak dari uang kutipan tersebut digunakan untuk acara keagamaan, operasional menteri dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam kategori yang ada, nilainya mencapai Rp 16,6 miliar.
"Kemudian uang-uang tersebut digunakan sesuai dengan perintah dan arahan Terdakwa," kata jaksa.
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat dakwaan pertama:
Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dakwaan kedua:
Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dakwaan ketiga:
Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sumber: Tribunnews