Menurutnya, hal itu bisa menjadi presenden buruk di masa depan.
Revisi terhadap UU MK tersebut, kata Mahfud, berpotensi mengganggu independensi hakim.
Khususnya yang terkait dengan aturan peralihan pasal 87.
Oleh sebab itu, ia menolak dilakukannya revisi tersebut.
"Itu juga sebabnya saya (dulu) menolak, ini mengganggu independensi."
"Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim, jadi, independensinya (hakim) sudah mulai disandera, menurut saya," kata Mahfud.
Diketahui dalam revisi UU MK pasal 87, diatur bahwa hakim MK yang sudah menjadi hakim lebih dari 5 tahun dan belum 10 tahun, harus dimintakan konfirmasi ke lembaga yang mengusulkannya
"Nah itu saya tidak setuju, waktu (jaman dulu) itu, karena itu bisa mengganggu independensi hakim MK."
"Pada waktu itu sedang menjelang Pilpres sehingga bisa saja hakim MK dibayang-bayangi oleh ancaman konfirmasi kepada institusi pengusul itu, maka saya waktu itu minta agar itu tidak diteruskan," sambung Mahfud.
Baca juga: Draf Revisi UU Kementerian Negara Berikan Keleluasaan Presiden Tentukan Jumlah Menteri
Terkait dengan perubahan sikap pemerintah yang kini telah menyepakati RUU MK untuk dibawa ke rapat pengambilan keputusan tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI, Mahfud tidak ingin berkomentar banyak.
Mahfud mengatakan kini dirinya tidak bisa menghalangi siapa-siapa yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK dilakukan.
"Sekarang sesudah saya pergi, tiba-tiba (revisi UU MK) disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa-siapa."
"Tapi itu ceritanya, saya pernah dead lock-kan UU itu, sekarang disahkan, isinya (point pengajuan perubahan) tetap, seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya sudah saya tidak bisa menghalangi," ujar Mahfud.
Mahfud menilai revisi UU MK itu hanya sebagai langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu.