TRIBUNNEWS.COM - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyarankan presiden terpilih Prabowo Subianto tegas dalam penunjukan menteri.
Juru bicara PKS Muhammad Iqbal menyebut Prabowo tidak perlu mengakomodir semua partai pendukungnya pada Pilpres 2024 untuk mendapat kursi kabinet.
Hal ini disampaikan Iqbal terkait wacana penambahan jabatan menteri dari 34 menjadi 40.
"Pak Prabowo tegas saja. Mana partai yang memang layak mendapat kursi karena dia memiliki anggota di parlemen," ungkap Iqbal dalam talkshow Overview Tribunnews, Kamis (16/5/2024).
Sementara itu, untuk partai yang tidak lolos parliamentary threshold (PT), Iqbal menilai tidak perlu mendapat kursi menteri, seperti pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Di era Pak Jokowi partai-partai yang tidak lolos (PT) itu tidak dapat menteri, jadi wakil menteri saja misalnya, atau dikasih jabatan lain, jadi tidak membebani presiden," ujar Iqbal.
Menurutnya, jika semua partai koalisi dalam Pilpres 2024 diberi jabatan, itu akan menjadi beban Prabowo.
"Di situlah ujian leadership pertama Pak Prabowo, mampukah dia mengelola konflik, mampukah dia menolak permintaan-permintaan yang bertentangan dengan konstitusi."
"Karena hari ini kalau dipaksakan 40 itu bertentangan, kecuali direvisi dulu undang-undangnya," ungkapnya.
Baca juga: Bamsoet Doakan Budi Arie Jabat Menteri Lagi di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran
Kata Pengamat
Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari menyebut penambahan kementerian tidak memiliki urgensi.
Menurutnya, sebab sejauh ini seluruh permasalahan kenegaraan sudah tertangani dengan kementerian yang ada.
"Bagi saya nomenklatur kementerian yang sudah ada ditetapkan tetap ada, karena seluruh kegiatan sudah terpenuhi," kata Feri Amsari saat ditemui awak media di Rumah Belajar ICW, Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Lebih lanjut, dengan adanya penambahan jumlah kementerian itu juga diyakini akan berpengaruh pada anggaran negara.
Justru menurut Feri yang harusnya dilakukan oleh pemerintahan adalah melakukan penyederhanaan jumlah menteri.
Pasalnya, saat ini sendiri banyak keputusan menteri yang tumpang tindih dalam mengatur suatu kebijakan.
"Yang paling penting itu penyederhanaan jumlah menteri. Kalau logikanya menambah sejumlah menteri, pasti ada transaksi lain ketika pembahasan," kata dia.
Dirinya lantas menyinggung, selama adanya nomenklatur yang berlaku saat ini, tidak pernah ada istilahnya Indonesia kekurangan kementerian.
Kata dia, dengan adanya wacana penambahan tersebut, diduga yang ingin dipenuhi adalah kepentingan pembagian kekuasaan.
"Saya tidak pernah mendengar satu pun setelah UU 39/2008 ada kekurangan menteri sampai hari ini. yang kurang adalah hasrat kepentingan membagi-membagi kekuasaan" ucap dia.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Rizki Sandi)