Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus kekerasan yang dialami taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Putu Satria Ananta Rastika oleh seniornya pada awal Mei 2024 menjadi sorotan publik. Guru besar hingga praktisi pelayaran turut buka suara.
Pasca insiden kekerasan taruna ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengeluarkan empat kebijakan baru yang akan diterapkan di STIP Jakarta.
Di antaranya, penghilangan atribut kepangkatan pada seragam, moratorium, tidak wajib asrama untuk tingkat II ke atas, dan mengubah kurikulum.
Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP). Organisasi yang menghimpun alumni STIP itu membuat Forum Group Discussion (FGD) untuk membahas reformasi pendidikan pelayaran, termasuk mendiskusikan kebijakan baru yang akan diterapkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di STIP.
Pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Prof. Didin S. Damanhuri mengatakan bahwa sebagian besar luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan.
Jika melihat sejarahnya, beberapa kerajaan dan kesultanan di Indonesia pernah berjaya dengan mengunggulkan sektor maritim.
Indonesia hari ini harus mencontoh sejarah yang pernah terjadi dan pendidikan pelayaran memiliki peran penting dalam mendukung sumber daya manusianya.
“Industri maritim dan kelautan harusnya menjadi keunggulan Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, kita pasti membutuhkan sekolah dan perguruan tinggi untuk mendukung negara maritim,” kata Prof. Didin, dikutip Senin (20/5/2024).
Guru Besar Universitas Negeri Makassar Prof. Mohammad Jafar Hafsah mengatakan, seorang taruna pelayaran harus memiliki mental yang tangguh.
Namun, dalam melatih mentalnya tidak dilakukan dengan cara kekerasan oleh seniornya. Itu seperti melatih menjadi dewasa dengan cara tidak dewasa.
Sebab, kekerasan di lingkungan pendidikan akan berdampak pada psikologis dan menghambat proses belajar mengajar.
“Kami mengharapkan akademi pelayaran sudah direformasi, jadi dengan wajah baru. Benar- benar mewadahi bagaimana memberikan pemahaman tentang kemaritiman dan pelayaran dengan sistem yang baru. Itu yang kita harapkan, sehingga sungguh-sungguh menghasilkan pelaut-pelaut yang tangguh,” ujarnya.
Baca juga: Fakta Upacara Pengabenan Taruna STIP: Warga Bakar Foto Tersangka, Motor Korban Dipajang di Rumah
Psikolog Kolonel Laut (KH) Ahmad Rivai, S.P.Si., M.PPO. sepakat dengan pepatah yang mengatakan ‘Pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang.’ Ia mengakui pekerjaan seorang pelaut tidak seperti karyawan di darat pada umumnya.
Pelaut adalah pekerjaan spesial. Oleh karenanya, pendidikannya juga perlu disesuaikan dengan tantangan yang akan dihadapi di tengah laut.
“Lingkungan perairan maupun lautan bukan habitat asli manusia. Nah di sini ketika seorang manusia ingin melaksanakan aktivitas dan tampil dengan performa yang prima, maka dia harus punya perbedaan dengan orang biasanya. Wajar jika pendidikan pelayaran dilakukan berbeda dengan pendidikan pada umumnya,” bebernya.
Kolonel Laut (KH) Ahmad Rivai menyatakan, soal tindakan yang sering diterapkan di pendidikan akademi seperti STIP, di antaranya pendidikan keras. Ia mengatakan, keras itu bukan berarti tidak baik. Keras adalah kata sifat, ketika diganti menjadi kata benda yaitu kekerasan maka jelas itu salah dan tidak dibenarkan.
Baca juga: Bocor Pesan Grup WA STIP, Diduga Hendak Rekayasa Kematian Putu Akibat Serangan Jantung
“Keras itu diperlukan. Ketika di tengah lautan ada terjadi sesuatu, dia harus bertanggung jawab dan terakhir yang meninggalkan kapal,” imbuhnya mencontohkan.
Ketua Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran, Iko Johansyah menghargai niat baik Menhub Budi Karya yang menginginkan transformasi pendidikan Indonesia lebih baik, termasuk pendidikan pelayaran.
Namun, empat wacana kebijakan untuk STIP yang disampaikan beberapa waktu lalu membuat CAAIP ingin mendalami lebih jauh bersama para akademisi, praktisi pelayaran, alumni, hingga orang tua taruna. Soal moratorium penerimaan taruna STIP, Iko menyayangkan keputusan tersebut.
Sebab, banyak calon taruna yang sangat bersemangat untuk masuk ke STIP, bahkan sudah ada 463 calon taruna yang mengikuti tes. Mereka pun menjadi korban jika kebijakan tersebut diterapkan.