Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Demokrat menilai pemerintah wajib mengkaji ulang PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Hal ini lantaran mayoritas publik, terutama para pekerja menolak aturan pemotongan gaji untuk iuran Tapera yang tertuang dalam peraturan pemerintah tersebut.
Demikian disampaikan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Menelisik Untung Rugi Tapera" di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/5/2024).
"Pemerintah harus mengkaji ulang terhadap reaksi publik saat ini," kata Herman.
Baca juga: PDIP: Wajar Pekerja Protes Iuran Tapera, Tiap Bulan Sudah Bayar BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan
Adapun dalam PP tersebut, besaran simpanan dana Tapera yang ditarik setiap bulannya yakni 3 persen dari gaji atau upah pekerja. Setoran dana Tapera tersebut ditanggung bersama oleh pemberi kerja yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Sementara untuk pekerja mandiri atau freelancer ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri.
Herman menilai pemerintah mesti mencari solusi agar pembiayaan rumah ini tidak membebani perekonomian masyarakat.
"Pemerintah harus memikirkan langkah-langkah teknis apa yang tepat dengan kemampuan daya beli dan keberadaan masyarakat yang saat ini," ujar Ketua DPP Partai Demokrat ini.
Lebih lanjut, Herman mengapresiasi niatan baik pemerintah untuk membantu masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.
Namun, hal itu tentunya harus diiringi dengan kondisi faktual ekonomi masyarakat hari ini.
"Tapi pada sisi lain tidak diberatkan dengan sistem dan program pemerintah yang sesungguhnya, ini punya tujuan yang baik ini yang menurut saya harus dipikirkan," ucap dia.
Baca juga: Empat Catatan Ombudsman ke Pemerintah Soal Transisi Penerapan KRIS BPJS Kesehatan
Sehingga menurutnya saat ini solusi terbaik meninjau ulang PP nomor 21 tahun 2024.
Menurutnya, jangan sampai kebijakan yang dibuat pemerintah justru menimbulkan beban baru bagi masyarakat.
"Tentu ini harus menjadi mandatori gitu, dan ya sebaik-baiknya program pemerintah, memberikan perhatian terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah, ya tentu semestinya berbasiskan, sebaik-baiknya," pungkasnya.
Jokowi Setujui Potong Gaji Karyawan Demi Tapera
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Dalam Pasal 7 PP mengenai Tapera tersebut, jenis pekerja yang wajib menjadi peserta mencakup pekerja atau karyawan swasta, bukan hanya ASN, pegawai BUMN dan aparat TNI-Polri.
Dalam PP tersebut, besaran simpanan dana Tapera yang ditarik setiap bulannya yakni 3 persen dari gaji atau upah pekerja. Setoran dana Tapera tersebut ditanggung bersama oleh pemberi kerja yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Sementara, untuk pekerja mandiri atau freelancer ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri.
Adapun pemberi kerja wajib menyetorkan simpanan Tapera setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari bulan simpanan yang bersangkutan ke Rekening Dana Tapera. Hal yang sama juga berlaku bagi freelancer.
Pemerintah memberikan waktu bagi para pemberi kerja untuk mendaftarkan para pekerjanya kepada Badan Pengelola (BP) Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP 25/2020.
Iuran Tapera Terkesan Dipaksakan
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terkesan dipaksakan.
Diketahui Program Tapera yang baru-baru ini diresmikan Presiden Jokowi. Dalam skemanya besaran simpanan peserta Tapera yang ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji pekerja. Sebesar 0,5% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 2,5% ditanggung oleh Pekerja itu sendiri.
"Program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN," kata Said Iqbal dalam keterangannya kepada Tribunnews.com Rabu (29/5/2024).
Baca juga: Kala Polri Sebut Oknum Densus 88 Kuntit Jampidsus Tak Ada Masalah, tapi Rahasiakan Motif
Dengan demikian, kata Said Iqbal bahwa program Tapera kurang tepat dijalankan. Sebalum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera.
"Partai Buruh dan KSPI menolak program Tapera dijakankan saat ini karenan akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan Peserta Tapera," kata Said Iqbal.
Partai Buruh dan KSPI ditegaskannya sedang mempersiapkan aksi besar-besaran untuk isu Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam Jaminan Kesehatan yang kesemuanya membebani rakyat.