TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tergabung dalam Tim Pencegahan dan Penanganan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (PK-JKN) mengungkap temuan kecurangan (fraud) senilai Rp35 miliar dari klaim JKN pada tiga rumah sakit yang menjadi piloting di tiga provinsi di Indonesia.
“Ada dua layanan yang kita lihat sampai detail yaitu fisioterapi dan katarak. Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim fisioterapi sebanyak 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.072 kasus di buku catatan medis. Jadi 3.269 kasus diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya tidak ada di catatan medis. Nilainya mencapai Rp501,27 juta,” ungkap Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, dikutip dari tayangan YouTube KPK RI, Kamis (25/7/2024).
Selain itu, dalam layanan katarak, Tim PK-JKN juga menemukan adanya fraud dengan modus manipulation diagsosis yakni rumah sakit mencatatkan operasi katarak fiktif.
Pahala memberikan contoh, dari sampel 39 pasien katarak, hanya 14 pasien yang membutuhkan operasi.
Namun, rumah sakit mengklaim seluruh pasien tersebut pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Lebih parah lagi, beberapa rumah sakit membuat dokumen fiktif meskipun pasien dan catatan medisnya tidak ada.
Dalam temuan ini, tim menyoroti setidaknya dua modus fraud di lingkup fasilitas kesehatan, yaitu phantom billing dan manipulation diagnose.
“Fraud-nya macam-macam, tapi kita ambil cuma dua, phantom billing dan manipulation diagnose. Bedanya, phantom billing, orangnya tidak ada, terapinya tidak ada, catatannya ada. Manipulation diagnose, orangnya ada, terapinya ada, klaimnya kegedean,” jelasnya.
Baca juga: Solusi Menjawab Tantangan Digitalisasi Program JKN melalui Healthkathon BPJS Kesehatan 2024
Lebih lanjut, saat ini Tim PK-JKN tengah fokus melakukan penanganan fraud pada modus yang paling riskan yakni phantom billing.
Hasil audit dengan pihak BPJS Kesehatan menunjukkan setidaknya ada tiga rumah sakit yang diketahui terlibat phantom billing yakni salah satu RS di Jawa Tengah dengan dugaan fraud sebesar Rp29,4 miliar dari 22.550 kasus; RS di Sumatra Utara dengan dugaan fraud sebesar Rp4,2 miliar dari 1620 kasus; serta RS di Sumatra Utara dengan dugaan fraud sebesar Rp1,5 miliar dari 841 kasus. Jika dihitung, nilai fraud-nya mencapai sekitar Rp35 miliar.
Tim PK-JKN juga sudah berkoordinasi dengan pimpinan KPK terkait tindak lanjut dari temuan tersebut.
Hasilnya, pimpinan KPK memutuskan agar kasus fraud ketiga rumah sakit yang terlibat phantom billing itu dibawa ke ranah penindakan karena indikasi tindak pidana korupsinya sudah cukup.
“Selanjutnya kalau kita sudah tahu tiga rumah sakit ini melakukan fraud, seharusnya pasti ada yang lain lagi. Makanya, tim sepakat dalam waktu 6 bulan ke depan untuk semua rumah sakit yang klaim, kalau ada yang melakukan phantom billing atau manipulation diagnose yang tidak tepat, itu ngaku saja, silahkan koreksi klaimnya. Setelah 6 bulan, nanti Tim PK-JKN melakukan secara masif audit klaim, audit dari BPJS Kesehatan dan BPKP Indonesia. Tim ini ada sampai level provinsi soalnya,” kata Pahala.
Sebagai informasi, Tim PK-JKN terbentuk sejak tahun 2017 melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, pimpinan KPK, dan dirut BPJS Kesehatan untuk memastikan dana JKN dapat digunakan secara tepat dan bermanfaat bagi rakyat Indonesia.
Hal ini juga diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Terdiri dari berbagai pihak strategis, mulai KPK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta BPJS Kesehatan, keberadaan Tim PK-JKN juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Tugasnya sendiri meliputi, menyosialisasikan regulasi dan budaya kendali mutu dan kendali biaya; meningkatkan budaya pencegahan kecurangan (fraud); mendorong tata kelola organisasi dan/atau tata kelola klinis yang baik; melakukan deteksi dan penyelesaian kecurangan (fraud); melakukan monitoring dan evaluasi; serta melakukan pelaporan.
Baca juga: KPK Sebut Pelaku Klaim Fiktif ke BPJS Komplotan, Dokter hingga Pemilik RS Diduga Terlibat
Inspektur Jenderal Kemenkes, Murti Utami, sebagai ketua Tim PK-JKN di kesempatan yang sama menuturkan selain phantom billing dan manipulation diagnosis, pihaknya menemukan modus fraud lain seperti self-referrals, upcoding, repeat billing, fragmentation, suap/gratifikasi, hingga iur biaya.
Palakunya sendiri meliputi peserta, BPJS Kesehatan, fasyankes, penyedia obat dan alkes, serta pemangku kepentingan lainnya.
“Dalam fraud JKN ini, tidak hanya faskes tapi individunya juga akan dikenakan sanksi. Jadi kami sedang melakukan pengolahan jenis-jenis sanksi terhadap pelaku-pelaku dari fraud JKN ini. Di Kemenkes kami sudah memiliki sistem informasi SDM kesehatan, jadi siapa kerja di mana kemudian SIP-nya juga ada. Kami juga ada rekam jejaknya,” ucap Murti.
Murti menambahkan, saat ini Tim PK-JKN sudah membuat rencana tindak lanjut dalam pencegahan dan penanganan fraud JKN seperti pemutusan kerjasama RS-BPJS hingga ada upaya pengembalian kerugian negara ke BPJS Kesehatan (jangka waktu 6 bulan); individu/pelaku terinput di rekam jejak SISDMK dan pemberian sanksi mulai penundaan pengumpulan SKP selama 6 bulan sampai pencabutan izin praktek.
Lalu, Tim PK-JKN Provinsi akan diperkuat dalam proses verifikasi fraud; serta memberikan kesempatan jangka waktu selama 6 bulan kepada faskes yang diduga melakukan phantom billing dan manipulasi diagnosa untuk melakukan koreksi dan pengembalian kerugian negara ke BPJS Kesehatan.
Baca juga: 4 Modus RS Klaim Fiktif BPJS Kesehatan Temuan KPK, Termasuk Operasi 1 Mata Katarak Tercatat 2 Mata
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Lily Kresnowati, menjelaskan dalam proses klaim JKN, pihaknya melakukan 5 tahapan verifikasi dengan melibatkan stakeholder.
Pertama, pengajuan klaim dilakukan di level rumah sakit dengan elegibilitas melalui biometric validation dan diajukan ke Sistem Informasi (pcare, eclaim-vclaim) dengan surat tanggung jawab mutlak yang diklaim oleh faskes lengkap dengan surat pemeriksaan klaim oleh Tim PK-JKN faskes.
“Kedua adalah pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan dokumen syarat dalam pembayaran klaim, ketiga pengujian secara uji petik terhadap validitas dan akurasi klaim yang sudah dibayarkan, keempat dan kelima yakni audit,” tutur Lily.
Audit ini meliputi administrasi klaim dan audit oleh Satuan Pengawasan Internal, eksternal, serta audit medis oleh Tim Kendali Mutu Kendali Biaya.
Hal ini juga dikuatkan oleh Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar-Lembaga BPJS Kesehatan, Mundiharno.
Menurutnya, fraud ini harus diawasi dan ditangani karena pelakunya bisa dari berbagai pihak, bukan hanya lingkup rumah sakit saja.
Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Agustina Arumsari, menyebut pihaknya memberikan dukungan penuh pada Tim PK-JKN dalam hal pencegahan dan penanganan fraud dana JKN yang menjadi temuan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami dalam tim sudah melakukan penelaah juga atas tiga kejadian di tiga rumah sakit, kami sependapat bahwa ada phantom billing. Sehingga kami mendukung upaya menjaga dana jaminan masyarakat ini,” kata Agustina.
Baca juga: Temuan KPK soal 3 RS Klaim Fiktif BPJS: Terjadi di Jateng-Sumut, Ada Modus Manipulasi Diagnosis
Lebih lanjut, KPK mengimbau agar masyarakat juga bisa aktif berpartisipasi dalam pengawasan dan pelaporan kasus fraud JKN ini.
Pelaporan bisa dilakukan melalui laman Jaga.id dengan menyampaikan kasus kecurangan yang terjadi pada layanan kesehatan.
“Tidak usah yang besar-besar. Laporan kecil juga kita terima, misalnya pasien diminta bayar kasa dan obat lain karena di rumah sakit katanya habis, padahal RS-nya melakukan klaim untuk keseluruhan, kan rugi,” kata Pahala.
Laporan melalui Jaga.id terhubung langsung dengan BPJS Kesehatan. Dalam kurun waktu 7 hari, laporan akan diproses dan ditindaklanjuti.