TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini Koalisi Indonesia Maju (KIM) sedang berusaha merangkul parpol-parpol lain seperti Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk bergabung bersama mereka sehingga menjadi KIM Plus.
Tujuannya mengondisikan agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, misalnya di Jakarta, hanya diikuti satu pasang calon gubernur-wakil gubernur yang akhirnya harus melawan kotak kosong.
Menurut Ketua Umum Forum Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (F-PDR) Marsekal TNI Purn Agus Supriatna, strategi busuk cipta kondisi agar hanya terdapat satu pasang calon sehingga terpaksa melawan kotak kosong, merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.
"Strategi kotak kosong itu melawan akal sehat dan tentu saja mengkhianati demokrasi. Seolah-olah dari 272 juta rakyat Indonesia, hanya ada sepasang calon yang memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah," kata Agus Supriatna di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Agus Supriatna yang juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) 2015-2017 ini kemudian merujuk contoh Pilkada Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 2018 lalu yang hanya diikuti satu pasang calon, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi, setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret nama pasangan M Ramdhan Danny Pomanto-Indira Mulyasari.
Ironisnya yang keluar sebagai pemenang justru kotak kosong dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah pilkada di Indonesia.
"Jangan sampai kasus kotak kosong dalam Pilkada Makassar tahun 2018 terulang di Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Ketika ternyata kotak kosong yang menang, hal itu justru mempermalukan mereka yang mengondisikan munculnya kotak kosong sebagai peserta pilkada," sindirnya.
Baca juga: Golkar, PKB, dan PKS Mulai Goyang Jelang Pilkada dan Pengumuman Calon Menteri Prabowo
KIM adalah koalisi parpol-parpol yang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu mendukung pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang juga didukung Presiden Joko Widodo.
Yakni, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, lanjut Agus, pasangan calon kepala daerah baru bisa didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika mendapat dukungan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara hasil pemilu terakhir.
Agus kemudian merujuk ketentuan Pasal 54C ayat (1) UU Pilkada, di mana pilkada dengan satu paslon dapat terjadi jika hanya satu paslon yang memenuhi syarat setelah masa perpanjangan pendaftaran.
Selain itu, katanya, kondisi ini juga bisa terjadi jika ada lebih dari satu paslon yang mendaftar tetapi hanya satu yang memenuhi syarat, dan setelah penundaan tidak ada tambahan paslon yang mendaftar atau memenuhi syarat.
Kondisi demikian, terutama di Jakarta, disinyalir Agus sengaja diciptakan oleh KIM agar calon yang mereka usung menang melawan kotak kosong.
"Karena melawan kotak kosong, maka meskipun calonnya belum tentu bagus, nyaris dapat dipastikan menang. Justru rakyat yang rugi karena tidak ada pilihan lain. Demokrasi pun terkebiri dan teramputasi," sesalnya.
Dengan terpilihnya calon dari KIM, atau KIM Plus, kata Agus, maka mereka dapat mempertahankan hegemoni dan oligarkinya.
"Tujuan mereka hanya melanggengkan kekuasaan, bukan untuk menyejahterakan rakyat," tukasnya.
Belajar dari Pilkada Kota Makassar 2018, Agus kemudian mengajak elite-elite politik tidak melakukan rekayasa untuk mengebiri demokrasi dengan mengondisikan munculnya kotak kosong dalam Pilkada 2024.
"Makin banyak calon justru makin baik bagi demokrasi, karena rakyat punya pilihan yang lebih banyak. Kalaupun terpaksa muncul kotak kosong, bisa jadi justru kotak kosong yang akan menang, karena kedaulatan memang berada di tangan rakyat, bukan di tangan para politisi busuk yang melakukan rekayasa agar calon yang mereka dukung melawan kotak kosong itu memang. Itu langkah pengecut sebenarnya," tandas Agus.