TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung memeriksa tiga direktur perusahaan plat merah, PT Antam terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditi emas tahun 2010 sampai dengan 2022.
Dari ketiganya, dua masih aktif menjabat. Mereka ialah: HW selaku Direktur Operasi tahun 2017 sampai dengan 2019, HRT selaku Direktur Operasi dan Produksi periode Juni 2022 sampai saat ini, dan ERTS selaku Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko periode Desember 2021 sampai saat ini.
Kemudian ada dua saksi lain dari PT Antam yang juga diperiksa pada hari yang sama oleh tim penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung.
Dengan demikian, total ada lima saksi yang diperiksa.
"Kejaksaan Agung melalui Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus memeriksa lima orang saksi terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditi emas tahun 2010 sampai dengan 2022," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar dalam keterangannya, Rabu (14/8/2024).
Adapun dua saksi lainnya yang diperiksa ialah senior vice president dan kepala divisi.
"AHS selaku Senior Vice President Corporate Secretary PT Antam Tbk periode 2017 sampai dengan 2019 dan DI selaku Bauxite and Others Business Development Division Head, Risk Management Officer pada Divisi Risk Management PT Antam Tbk," kata Harli.
Baca juga: Kasus Korupsi Emas 109 Ton, Eks Komisaris PT Antam Robert A Simanjuntak Diperiksa Kejagug
Pemeriksaan para saksi ini menurut Harli, dilakukan dalam rangka pengumpulan alat bukti terkait perkara dugaan korupsi emas yang sudah menjerat 13 tersangka,
Jumlah tersangka itu terdiri dari tujuh swasta dan enam penyelenggara negara dari PT Antam.
Dari PT Antam, tim penyidik menetapkan enam mantan General Managernya: TK periode 2010–2011, HM periode 2011–2013, MA periode 2019–2021, ID periode 2021–2022, GM periode 2013–2017, dan AH periode 2017–2019.
Sedangkan tujuh lainnya merupakan pihak swasta, yakni LE, SL, SJ, JT, GAR, HKT, dan DT.
Mereka diduga telah berkongkalikong untuk melekatkan merek Logam Mulia Antam tanpa didahului kerja sama.
"Menyalahgunakan jasa manufaktur yang diselenggarakan oleh UBPPLM sehingga para tersangka tidak hanya menggunakan jasa manafukatur untuk pemurnian pelebuhan dan pencetakan melainkan juga untuk melekatkan merk LM Antam tanpa didahului kerja sama dan membayar kewajiban kepada PT Antam," ujar Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar.
Baca juga: 5 Manajer Antam Diperiksa Kejaksaan Agung Terkait Kasus Korupsi Emas 109 Ton
Hasilnya, mereka memproduksi emas dengan merek Antam secara ilegal dalam kurun waktu 2010 sampai 2021.
Tak tanggung-tanggung, produksi emas ilegal itu mencapai 109 ton, sehingga negara diperkirakan merugi Rp 1 triliun.
"Selanjutnya sesuai estimasi total logam mulia yang telah dipasok dengan para tersangka untuk selanjutnya diproduksi menjadi logam mulia dengan merk LM antam secara ilegal dalam kurun waktu tersebut seluruhnya mencapai 109 ton emas," katanya.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.