News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pakar Politik: Demokrasi dan Kebebasan Sipil di Indonesia Lemah saat Berhadapan dengan Oligarki

Penulis: willy Widianto
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Aksi demonstrasi menolak pengesahan Revisi UU Pilkada diikuti sejumlah pelajar, Kamis (22/8/2024)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses demokrasi di Indonesia belakangan jadi sorotan.

Terlebih saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutus soal aturan ambang batas dan batas usia pencalonan calon kepala daerah.

Dugaan campur tangan kekuasaan pun menyeruak menjelang pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024.

Berkaca dari data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2024 Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor 6,53 dan berada di peringkat ke-56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Beberapa catatan krusial dengan penilaian rendah dalam indeks tersebut berkaitan dengan budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,29).

Sementara itu, berdasar data Freedom House (2024), Indonesia termasuk dalam kategori 'partly free' dengan nilai 57/100 (turun 1 poin dibandingkan tahun sebelumnya). 

"Flawed democracy menjadi situasi kita. Mekanisme elektoral yang jadi syarat prosedural demokrasi dan kebebasan sipil tetaplah belum cukup kokoh karena menghadapi oligarki di level atas, tapi di bawah rakyat menghadapi intoleransi akibat proses politik itu,” kata Tokoh Agama dan Ahli Etika yang juga pengajar di STF Driyarkara, Martin L Sinaga saat acara Focus Grup Discussion (FGD) yang digelar BPIP, Rabu(28/8/2024).

Menurut Gubernur Lemhanas 2022-2023, Andi Widjajanto demokrasi berkorelasi positif dengan indeks ekonomi dan sosial. Karena itu agar ketimpangan menurun maka proses demokrasi harus diutamakan.

“Hari ini Indonesia demokrasinya lemah dan ekonominya stagnasi,” ujar Andi Widjajanto.

Sementara itu Peneliti Senior BRIN, Ikrar Nusa Bhakti menyoroti soal etika berpolitik dan ketaatan terhadap hukum yang belakangan terjadi degradasi yang dalam.

"Berdasarkan adagium Lord Acton, kekuasaan yang absolut pasti akan menyebabkan korupsi ini bukanlah sebuah adagium slogan, namun telah dilegitimasi oleh berbagai kajian akademis. Kekuasaan memiliki tingkat adiksi yang tinggi bahkan lebih dari adiksi terhadap narkoba," ujarnya.

Kekuasaan lanjut Ikrar mampu mengaktifkan sistem penghargaan neuronal di otak sehingga membuat orang yang berada pada posisi kekuasaaan memiliki adiktifitas untuk terus mempertahankan kekuasannya. 

"Hal ini berdampak pada terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," kata Ikrar.

Senada Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti mengatakan begitu mendapatkan kekuasaan cara pandang seseorang bakal berubah. "

“Orang tang tadinya rendah hati, melayani, itu bisa berubah menjadi menuntut orang lain melayani dia,” ujar Ramlan Surbakti.

Pakar Hukum Bivitri Susanti bahkan menyebut implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan perilaku nepotisme yang melahirkan kolusi dan berujung pada praktik-praktik korupsi yang masif sehingga menyebabkan dominasi terhadap kekayaan negara dan penghalalan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.

Bentuk penyalahgunaan yang lebih serius adalah manipulasi terhadap sistem hukum baik pada tatanan legislasi hingga proses law enforcement (penegakan hukum). 

Pada titik ini, substansi hukum yang seharusnya menjunjung etika moralitas, justru dijauhkan dari nilai-nilai etika. 

“Ada persoalan besar bahwa hukum dituhankan dan dianggap lebih tinggi dari etik, ini jelas terbalik,” ujar Bivitri Susanti.

Begitu pula dengan proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik justru dilakukan secara tertutup dan tanpa transparansi. 

“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” tambah Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai dewan perwakilan rezim bukan dewan perwakilan rakyat. 

Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi.

Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik. 

"Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin tergerus," kata Harkristuti.

Rekomendasi BPIP

Berdasarkan FGD tersebut, BPIP memberikan rekomendasi mengatasi problematika etika penyelenggara negara sebagai berikut:

1. Sistem Hukum:

Perlu dibentuk UU Lembaga Kepresidenan yang mengatur mengenai pokok-pokok beretika. Alasannya adalah lembaga eksekutif di bawah presiden, legislatif dan yudikatif telah memiliki regulasi etikanya masing-masing misalnya di legislatif ada UU MD3, di yudikatif ada UU MK, MA, KY dan di eksekutif ada UU Kementerian Negara, Watimpres, TNI, Polri dan lain-lain, sedangkan di lembaga kepresidenan belum ada.

2. Proses Legislasi 

Proses Legislasi harus berkualitas dengan naskah akademik yang mendalam, mengutamakan proses yang transparan dan inklusif, serta melibatkan partisipasi publik yang lebih luas.

3.  Memperkuat struktur dengan mengembalikan KPK dan MK menjadi lembaga independen dan imparsial.

4.   Memperkuat independensi dan imparsialitas lembaga peradilan

5.   Memperbaiki institusi kepolisian menjadi lembaga penegak hukum dan keadilan, bukan sekadar penjaga ketertiban.

6. Perombakan sistem pada partai politik sehingga kaderisasi partai politik memiliki ruh yang menjunjung tinggi etika dan moralitas. 

Partai politik juga harus dibiayai oleh negara dengan syarat bahwa partai-partai politik harus memenuhi syarat yang ketat dan pentingnya kaderisasi partai-partai politik sehingga memiliki ideologi yang jelas.

7. Materi Pendidikan Pancasila agar berbasis hak dan nilai masyarakat bukan sekedar mengutamakan pengajaran normatif, simbolis seperti hormat bendera sikap seremonial.

8. BPIP juga diminta harus menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan praksis dan menyuarakan kebenaran, bukan lembaga dogmatis, yang hanya bertugas sosialisasi, tetapi lembaga yang menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

9. Penyelenggara negara harus mengacu pada TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk menciptakan tatanan etika yang kuat di berbagai aspek kehidupan dan mencegah terulangnya kembali penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum yang terjadi pada masa lalu. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini