Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Menteri ATR/Kepala BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meresmikan Pameran Tanah Ulayat di Hotel Trans Luxury Kota Bandung Jawa Barat pada Rabu (4/9/2024).
Usai membuka secara resmi pameran tersebut, AHY mengunjungi stan pameran satu per satu.
Baca juga: Eksploitasi Air Tanah Berlebih Ancam Keseimbangan Alam dan Kesempurnaan ibadah
Saat itu ia sempat berbincang dengan para perwakilan masyarakat adat yang mengisi stan-stan tersebut terkait dengan produk yang mereka buat hingga soal proses penerbitan sertipikat HPL tanah ulayat di daerah mereka.
Pameran tersebut diikuti beberapa perwakilan Masyarakat Hukum Adat di antaranya dari Masyarakat Hukum Adat Baduy Kabupaten Lebak Banten, Kabupaten Tanah Datar, Kanwil BPN Papua, Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sanggui, Kampung Naga Tasikmalaya, Mukim Siem Aceh dan Seulimeum Aceh Besar.
Usai mengunjungi stan satu per satu, AHY mengatakan pameran tersebut merupakan rangkaian dari Konferensi Internasional tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Ulayat di Indonesia dan Negara di Tingkat ASEAN yang digelar pada 4 sampai 7 September di Kota Bandung.
Baca juga: Soal Program Pemerintah Wujudkan Lumbung Pangan Nasional di Merauke, Begini Sikap Masyarakat Adat
Ia mengatakan tidak semuanya memahami kompleksitas terkait dengan hak ulayat masyarakat adat yang sudah tinggal di tanah kelahirannya puluhan bahkan ratusan tahun.
AHY juga memahami adanya harapan masyarakat adat agar hak-hak atas tanah bagi siapapun yang masih menjadi bagian dan keturunan darah dari suku atau identitas adat tertentu bisa diperjuangkan.
"Oleh karena itu kami, Kementerian ATR/BPN, berupaya untuk meyakinkan (masyarakat) setelah diidentifikasi dengan baik tanah-tanah ulayat tersebut, bordernya, batas-batasnya juga jelas," kata AHY.
Di samping itu kata dia, pemerintah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota juga perlu memberikan pengakuan ataupun melegitimasi masyarakat adat di daerah mereka sesuai peraturan yang telah ditetapkan.
Setelah itu, kata dia, pihaknya baru bisa melakukan pengukuran, pendaftaran, dan pendataan.
"Dengan ini harapannya tidak lagi ada sengketa di kemudian hari karena namanya tanah, ya masyarakat makin tumbuh, jumlah penduduk makin banyak, bisa saja ada tumpang tindih. Nah kita jaga ini bareng-bareng dan tentunya ini membutuhkan kerja keras," kata dia.
AHY juga menegaskan komitmennya agar hak-hak masyarakat tidak tercabut dari lingkungan hidupnya.
Akan tetapi, lanjut dia, di sisi lain pihaknya juga harus bisa memberikan penjelasan dengan baik dan tulus bahwa Bangsa Indonesia perlu terus tumbuh dan membangun ekonomi dan infrastruktur yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Masyarakat Adat Harus Mendapat Perlindungan yang Menyeluruh
Ia menekankan pentingnya tata ruang dalam proses pembangunan.
Tata ruang, kata dia, harus menjadi panglima dalam pembangunan.
"Sehingga tidak ada masalah di kemudian hari, tetapi kita bisa menjelaskan bahwa jika ada tanah yang memang kita butuhkan untuk pembangunan nasional atau pembangunan daerah itu sendiri bisa untuk fasilitas, transportasi fasilitas umum, termasuk sarana pendidikan, kesehatan," kata dia.
"Tentu dalam prosesnya, dalam praktiknya kita harus tetap menghargai menghormati segala-segala yang mereka telah miliki selama ini," sambung dia.
Terkait implementasi pendaftaran tanah ulayat, Kementerian ATR/BPN menyatakan telah melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat sejak 2021 - 2023.
Sampai dengan tahun 2023, potensi keberadaan tanah ulayat tercatat mencapai sekitar 3,8 juta hektare yang tersebar di 16 provinsi lokasi inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat.
Sebanyak 16 provinsi tersebut antara lain Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, Papua, dan Papua Barat.
Kementerian ATR/BPN juga menyatakan telah melakukan tindak lanjut data ulayat sebagai pilot project di Provinsi Sumatra Barat dan Papua pada 2023.
Hasilnya, terbit Sertipikat HPL untuk enam bidang di Sumatra Barat dan tiga bidang di Papua.
Keenam bidang Sertipikat HPL di Sumatra Barat tersebut antara lain di Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sungai Kamuyang, Kabupaten Limapuluh Kota sebanyak satu bidang; KAN Sikabu-kabu Padang Panjang sebanyak dua bidang; KAN Sungayang Kabupaten Tanah Datar sebanyak tiga bidang.
Sementara itu, tiga bidang Sertipikat HPL di Papua diserahkan kepada Masyarakat Hukum Adat Kampung Sawo Hnya di Kabupaten Jayapura
Kementerian ATR/BPN juga menyatakan pada 2024 telah terbit beberapa Sertipikat HPL untuk tanah ulayat.
Sertipikat tersebut antara lain Sertipikat HPL Tanah Ulayat sebanyak satu bidang di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, dan empat Sertipikat HPL Tanah Ulayat di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali atas nama Desa Adat Bangah.
Selain itu tiga Sertipikat HPL Tanah Ulayat kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) Tanjung Bonai Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatra Barat, dan 13 Sertipikat HPL Tanah Ulayat di Kota Sungai Penuh atas nama Masyarakat Hukum Adat Tanah Baserau Tanah Baimbeo.
Kementerian ATR/BPN menyatakan saat ini tengah berupaya melanjutkan proses pendaftaran tanah ulayat di beberapa tempat.
Beberapa tempat itu antara lain Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu dan Sekadau Provinsi Kalimantan Barat, serta Kabupaten Jembrana dan Tabanan Provinsi Bali.
Identifikasi dan Inventarisasi Jadi Tantangan
Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Asnaedi mengatakan upaya Kementerian ATR/BPN tersebut bukan tanpa tantangan.
Tantangan terbesar dalam upaya tersebut, kata dia, adalah mengidentifikasi masyarakat hukum adat yang ada di seluruh Indonesia.
Proses tersebut, kata dia, memakan waktu dan membutuhkan banyak sumber informasi.
"Tantangannya ya bagaimana kita mengidentifikasi masyarakat hukum adat itu. Kemudian kita tetapkan wilayah masyarakat hukum adatnya itu yang mana saja. Karena kan belum pernah ada yang tercatat. Semuanya kan tidak tercatat semua," kata dia di sela-sela pameran.
"Jadi kita mengidentifikasi, menginventarisasi itu benar-benar butuh waktu, butuh ketelitian, butuh sumber-sumber informasi yang banyak. Tidak hanya satu," sambung dia.