Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak negara, untuk memenuhi ketersediaan pangannya dilaksanakan melalui swasembada dengan cara memproduksinya di dalam negeri.
Konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional.
Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo mengatakan, Indonesia yang memiliki potensi sektor pertanian yang besar berpeluang untuk “swasembada” pangan namun belum diberdayakan secara optimal.
"Pembangunan sektor pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani, menjaga ketahanan pangan, dan kontribusinya pada pendapatan nasional," kata Pontjo saat FGD bertema
Dikatakannya, hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi pertanian di Indonesia tidak banyak berubah selama 10 tahun terakhir, dan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan, antara lain masih didominasi tenaga kerja tua; masih minim menggunakan teknologi; penyusutan lahan pertanian; kerusakan lingkungan dan perubahan iklim; (5) Terkait akses petani terhadap permodalan; (6) Terkait keterpaduan antar sektor atau koordinasi serta sinergi antar sektor.
"Menghadapi berbagai masalah tersebut, maka penerapan sains dan teknologi yang paling produktif tetapi ramah lingkungan dalam pembangunan sektor pertanian merupakan suatu keniscayaan," katanya.
Penerapan sains dan teknologi pertanian modern, kata dia telah memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi beban kerja manual, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.
Selain itu, teknologi informasi dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam menghubungkan petani dengan informasi pasar dan memfasilitasi akses ke platform belanja online, yang berkontribusi pada peningkatan pemasaran dan penjualan produk pertanian..
"Pemerintah memang berkomitmen untuk terus mendukung dan mendorong pengembangan sektor pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi serta ramah lingkungan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia," kata Ketua Umum KB FKPPI ini.
Meskipun ada komitmen pemerintah untuk penerapan teknologi pertanian, namun mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah, dengan 87,59 persen rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti yang terjadi di Thailand dan Ethiopia, terbukti bahwa pemanfaatan sains dan teknologi dapat mendorong pembangunan sektor pertanian dan peningkatan ketahanan pangan sebuah negara.
"Pengembangan dan penerapan teknologi dalam meningkatkan produktivitas komoditas pangan menjadi salah satu alasan mengapa Ethiopia bisa berkembang menjadi negara adidaya di bidang pertanian dan ketahanan pangan," katanya.
Terganggunya ketersediaan pangan dalam negeri, dapat dilakukan dengan kebijakan impor secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek “kemandirian dan kedaulatan pangan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
"Oleh karena itu, kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “state capture” atau “state capture corruption,” tuturnya.
State capture merupakan tindakan untuk mengkooptasi, mengintervensi, dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan.
State capture, dapat juga terjadi di sektor pertanian dan pangan, karena kebijakan dalam sektor pertanian dan pangan masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum pencari rente. Khususnya terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor.
Baca juga: Amran Ingatkan RI Swasembada Pangan 2017, 2019, 2020: Artinya Kita Mampu
Pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya juga tidak bergantung hanya pada beras dan gandum. Apalagi Indonesia saat ini masih bergantung 100?ngan gandum impor. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih impor gandum mencapai 10,2 juta ton dengan nilai US$ 2,6 miliar.
"Untuk itu, diversifikasi produk pangan menjadi penting dilakukan dalam rangka membangun ketahanan pangan yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal.