Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid berharap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia periode 2024-2029, mengoreksi kebijakan eksekutif yang tidak ramah HAM.
"Ketika ratusan anggota DPR dilantik hari ini, pada hari yang sama kita juga mengenang dua tahun Tragedi Kanjuruhan. Tragedi ini menjadi pengingat kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas, yang ironisnya banyak dipicu oleh kebijakan eksekutif," kata Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Selasa (1/9/2024).
Baca juga: Sepak Terjang 2 Srikandi Termuda di DPR dan DPD, Anissa Mahesa dan Larasati Moriska, Usia 20-an
Meski begitu dikatakannya badan legislatif juga bertanggungjawab karena lembek dalam fungsi pengawasan peran kontrol DPR.
"Di tengah momen ini, jangan lupa kita masih memiliki produk hukum seperti UU ITE dan KUHP yang isinya mengekang kebebasan berekspresi, walau sudah direvisi."
"Omnibus Law juga hari ini masih dinilai merugikan hak-hak asasi manusia, antara lain hak buruh atas upah dan kondisi kerja yang layak, hingga hak atas lingkungan hidup yang sehat," lanjutnya.
Usman Hamid mengingatkan DPR periode lalu meninggalkan pekerjaan yang dapat membahayakan HAM, seperti revisi UU Penyiaran, UU TNI, dan UU Polri.
"Lalu keputusan MPR--yang mayoritasnya anggota DPR periode lalu--yang mencabut nama Soeharto dari Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang pencegahan KKN dan gagasan memberinya gelar pahlawan nasional sungguh melecehkan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat semasa 32 tahun dia berkuasa."
"Apalagi hari ini adalah hari peringatan Gerakan 1 Oktober yang menjadi titik awal pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis 59 tahun yang lalu," ungkapnya.
Baca juga: Kemenkes Akui Tak Akomodir Semua Saran soal Kebijakan Produk Tembakau, Anggota DPR: Jangan Egois
Usman Hamid juga menilai pelantikan DPR baru adalah momen penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab wakil rakyat dalam membela hak-hak rakyat, baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
“DPR periode baru wajib ikut menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai amanat Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM."
"DPR harus mendesak Presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengadilan ad hoc HAM untuk kasus-kasus seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa aktivis 1997/1998, Tragedi Priok 1984 dan Talangsari 1989, hingga Tragedi 1965-1966, dan lainnya yang terjadi dari Aceh hingga Papua," terangnya.
Begitu pula, kata Usman kasus pelanggaran HAM terkait proyek strategis nasional yang mengancam masyarakat adat seperti di Rempang, Wadas, dan Mandalika.
DPR wajib memastikan ada keadilan untuk korban dan keluarga mereka.
"Akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan juga penting. Riset kami terkait pembelian alat sadap oleh Polri dan BSSN yang kurang transparan juga luput dari kontrol DPR. Padahal alat itu bukan hanya bisa digunakan untuk memata-matai aktivis, tapi juga politisi yang kritis pada pemerintah," kata Usman.
"Intinya, DPR harus mengawasi kinerja badan keamanan dan mendorong reformasi serius guna memastikan perlindungan hukum yang adil dan tak memihak bagi semua masyarakat," ujar dia.