News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Faktor Kemanusiaan Jadi Alasan Pemerintah Indonesia Transfer Tahanan Narapidana Kasus Bali Nine

Penulis: Reza Deni
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, (25/11/2024).

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto menyetujui soal pemindahan tahanan kasus narkoba Bali Nine ke Australia. Ada sejumlah alasan pemerintah Indonesia mengambil kebijakan ini.

"Kalau soal Bali Nine, sekali lagi saya ulangi. Prinsipnya Presiden telah menyetujui untuk dilakukan proses pemindahan. Tetapi kan tidak boleh terburu-buru karena menyangkut soal mekanisme. Bahwa mekanisme transfer secara umum kita belum punya rules-nya," kata Menteri Hukum Supratman Andi AgtS kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/11/2024).

Supratman mengatakan Prabowo memberi  arahan Prabowo untuk melakukan kajian mendalam terkait mekanisme tersebut. 

"Kami akan melakukan itu dalam waktu, mungkin apakah Desember bisa atau awal tahun, saya belum bisa pastikan. Tapi pada prinsipnya Presiden setuju dan kami mempersiapkan itu," ucapnya.

Supratman menekankan negara yang meminta pemindahan narapidana untuk memberikan surat kepada pemerintah Indonesia.

Baca juga: Setujui Transfer Narapidana Kasus Bali Nine, Prabowo Minta Jajarannya Segera Buat Kajian Mekanisme

"Syaratnya yang kami sampaikan, sekali lagi, satu bahwa mereka harus mengakui, menyangkut soal sistem hukum kita dan proses peradilan yang sudah berlangsung," sambungnya.

Lebih lanjut, Supratman mengungkap pertimbangan Prabowo menyetujui pemulangan napi WNA. 

Salah satunya alasan kemanusiaan. Selain itu, pertimbangan adanya WNI di luar negeri yang bermasalah dengan hukum.

"Yang kedua, Presiden mengingatkan kepada kami bahwa ini satunya adalah pertimbangan, karena pertimbangan kemanusiaan, itu satu," kata dia.

"Yang kedua, yang terakhir, kenapa kita lakukan ini? Karena kita juga punya warga negara yang berada di luar, yang kebetulan juga bermasalah dengan hukum," pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyatakan, pemerintah Indonesia telah menerima permohonan resmi dari pemerintah Filipina terkait pemindahan terpidana mati kasus penyelundupan narkotika Mary Jane Veloso. 

Proses pemindahan dapat dilakukan jika syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah Indonesia dipenuhi.

Menko Yusril juga menegaskan, pemerintah Indonesia tidak membebaskan terpidana mati Mary Jane, tetapi mengembalikannya ke negara asal melalui kebijakan pemindahan narapidana atau transfer of prisoner. 

Menanggapi pernyataan Presiden Filipina Ferdinand R. Marcos Jr., Menko Yusril menyatakan, tidak ada kata "bebas" dalam rilis itu. 

"Tidak ada kata bebas dalam statemen Presiden Marcos itu. ‘Bring her back to the Philippines', artinya membawa dia kembali ke Filipina," kata Yusril melalui keterangan pers tertulis kepada media, di Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Menko Yusril menyebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang mengajukan permohonan pemindahan narapidana atau transfer of prisoner. 

Pertama, mengakui dan menghormati putusan final pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya yang terbukti melakukan tindak pidana di wilayah negara Indonesia. 

Kedua, napi tersebut dikembalikan ke negara asal untuk menjalani sisa hukuman di sana sesuai putusan pengadilan Indonesia. 

Ketiga, biaya pemindahan dan pengamanan selama perjalanan menjadi tanggungan negara yang bersangkutan. 

"Bahwa setelah kembali ke negaranya dan menjalani hukuman di sana, kewenangan pembinaan terhadap napi tersebut beralih menjadi kewenangan negaranya," kata Yusril. 

Terkait pemberian keringanan hukuman berupa remisi, grasi dan sejenisnya, Menko Yusril mengatakan, hal itu menjadi kewenangan kepala negara yang bersangkutan. 

"Dalam kasus Mary Jane, yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia, mungkin saja Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur hidup, mengingat pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana Filipina, maka langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari Presiden Filipina," kata Yusril.

Menko Yusril menambahkan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa tahun yang lalu telah menolak permohonan grasi Mary Jane, baik yang diajukan oleh pribadi, maupun diajukan oleh pemerintah Filipina. 

Presiden kita sejak lama konsisten untuk tidak memberikan grasi kepada napi kasus narkotika," ujar Yusril.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini