TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan jadwalkan sidang putusan praperadilan eks Menteri Perdagangan Tom Lembong lawan Kejagung pada Selasa (26/11/2024).
Ketua Majelis Hakim Tumpanuli Marbun di persidangan memutuskan sidang putusan digelar Selasa siang.
“Sidang putusan besok (hari ini) jam dua siang. Jadi kita ketemu lagi untuk untuk dengarkan putusan. Sidang ditutup,” kata Hakim Tumpanuli Marbun di persidangan praperadilan Tom Lembong, Senin (25/11/2024).
Sementara itu sebelumnya pada persidangan Tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Rony Agustinus mengatakan BPK tak harus menjadi syarat penetapan tersangka.
"Tanggapan pemohon menurut putusan MK No 21 2016 bahwa laporan dari hasil BPK bukanlah syarat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka," kata Rony di persidangan.
Ia melanjutkan sampai saat ini tidak ada satupun peraturan yang mewajibkan BPK RI syarat menetapkan seseorang menjadi tersangka.
"Berdasarkan putusan MK No 21 2016. Syarat untuk melakukan penetapan tersangka adalah berdasarkan bukti permulaan yang dimaknai minimal dua alat bukti," kata Rony.
Kemudian dikatakannya BPKP juga diakui sebagai salah satu lembaga atau auditor yang berwenang dan menghitung kerugian negara.
"Hal itu sejalan dengan putusan pengadilan tindak pidana korupsi dari tahap pertama sampai kasasi yang membuktikan unsur merugikan keuangan negara berdasarkan hasil perhitungan BPKP," kata Rony.
"Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara adalah sah. Semakin diperkuat dengan Peraturan Presiden nomor 192 Tahun 2023," tegasnya.
Baca juga: Sebut Paksakan Alat Bukti, Kuasa Hukum Tegaskan Penetapan Tersangka Tom Lembong Sewenang-wenang
Sementara itu pada persidangan yang sama, Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf menegaskan penetapan tersangka kliennya oleh Kejagung sewenang-wenang.
"Kesimpulan praperadilan atas tidak sahnya penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong. Negara hukum menempatkan martabat manusia setinggi-tingginya," kata Ari di persidangan.
Ia melanjutkan tidak boleh ada aparat penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang dengan mengatasnamakan hukum.
"Ironisnya kesewenang-wenangan itu terjadi dalam penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong. Yang dilakukan oleh Kejagung tanpa memiliki dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan dalam persidangan praperadilan di PN Jakarta Selatan," terangnya.
Mengapa demikian, faktanya kata Ari kejaksaan lebih dulu menetapkan tersangka baru mencari buktinya.
"Tindakan tersebut sangat bertentangan dengan KUHP. Yang mengatur sebelum seseorang ditetapkan tersangka harus dilakukan penyelidikan dan penyidikan," jelasnya.
Penyelidikan itu kata Ari harus dilakukan secara tertib dimulai dari mencari dan mengumpulkan bukti terlebih dahulu. Baru kemudian berujung pada penetapan tersangka. Prosesnya tidak bisa dibalik.
"Tindakan demikian merupakan kesewenang-wenangan. Jika demian yang terjadi maka pembuktian yang dimaksud bukan ditemukan atau dikumpulkan. Tetapi bukti tersebut dibuat atau direkayasa," lanjutnya.
Selain itu termohon dalam persidangan lanjut Ari, juga terbukti memaksakan alat bukti yang tidak memenuhi unsur delik.
"Yaitu terjadinya kerugian keuangan negara. Sebagaimana diisyaratkan oleh putusan MK," tegasnya.