TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membuka pendaftaran perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah atau pilkada.
Mengacu pada Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penangnaan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, MK memulai tahapan sejak 27 November 2024.
Pelayanan pengajuan permohonan baik oleh pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota ataupun pemantau pemilihan provinsi/kabupaten/kota sejak 27 November hingga 18 Desember atau tiga hari setelah pengumuman paslon terpilih oleh KPU setempat (paling akhir 16 Desember).
Bersamaan dengan pembukaan pendaftaran sengketa, MK menyediakan layanan konsultasi bagi pasangan calon kepala/wakil kepala daerah atau tim hukumnya untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal-hal teknis terkait dengan pengajuan sengketa.
”Mestinya sudah (dibuka), baik luring maupun daring karena masa penanganan perkara PHP (perselisihan hasil pemilihan) kepala daerah di MK dimulai hari ini,” kata Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso, Kamis.
.
Menyikapi ini, Peradi meningkatkan kemampuan para advokatnya dalam menangani perkara sengketa Pilkada 2024 yang kemungkinan muncul di antaranya di Mahkamah Konstitusi (MK)
Ketua Harian DPN Peradi, R. Dwiyanto Prihartono, di Jakarta, Jumat, (29/11/2024), menyampaikan, Peradi menggandeng Justitia Training Center untuk menghelat Professional Training Program bertajuk “Teknik dan Strategi Pendampingan Hukum Calon Kepala Daerah dalam Pilkada”.
Training yang dihelat secara daring ini menghadirkan dua narasumber mumpuni dari kalangan akademisi dan praktisi yang kerap menangani berbagai sengketa Pemilu dan Pilkada di MK.
Adapun kedua pembicaranya, yakni pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Pengurus Bidang Kajian Hukum dan Perundang-Undangan DPN Peradi, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., serta mantan Ketua Bawaslu RI yang juga advokat dan Konsultan hukum Pemilu, Abhan, S.H., M.H.
“Dua pembicara ini adalah memang orang-orang yang bergelimpang dengan masalah-masalah pilkada dan punya kapabilitas yang sangat baik,” katanya.
Dwi, advokat senior ini karib disapa, menyampaikan, bahasan training ini sangat tepat karena kemungkinan adanya sengketa pascapilkada serentak 2024.
“Kita akan selalu coba memilih topik-topik yang update, sehingga akan langsung bermanfaat dalam keperluan sehari-hari kita sebagai advokat,” katanya.
Menurutnya, para advokat harus benar-benar siap memberikan pendampingan hukum bagi para calon kepala daerah yang menghadapi perkara Pilkada.
“Ini juga untuk meningkatkan kualitas advokat. Ini mandat yang diberikan kepada Peradi sebagai organisasi advokat yang tertuang dalam Undang-Undang Advokat,” katanya.
Presiden Direktur (Presdir) Justitia Training Center, Ardinsyah Tiawarman, menyampaikan, training ini merupakan hasil kolaborasi menindaklanjuti MoU pihaknya dengan DPN Peradi pada September lalu.
Ia mengatakan, sengketa pemilu maupun pilkada kerap melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan, sehingga membutuhkan keahlian khusus dalam merancang strategi hukum. Advokat perlu meningkatkan kompetensinya.
“Kita tidak hanya cukup memahami aspek hukum substansif, tapi juga teknik, strategi, dan etika dalam memberikan pendampingan hukum, menjunjung tinggi prinsip keadilan, integritas, dan juga profesionalisme,” katanya.
Fahri Bachmid di antaranya menjelaskan tentang perselisihan hasil atau angka perolehan suara yang harus diterangkan dalam permohonan secara lengkap atau komprehensif dan detail.
“Lalu variabel-variabel yang memengaruhi angka itu apa? Apakah ada markup suara atau proses yang tidak benar karena money politics dan sebagainya,” kata dia.
Fahri Bachmid melanjutkan, dalil itu harus kuat dan tajam serta ditopang argumentasi dan alat-alat bukti yang benar. Kalau itu dipenuhi, pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) akan ditindaklanjuti MK.
Adapun Abhan di antaranya menyampaikan strategi penanganan perkara sengketa hasil pilkada, yakni pertimbangkan ketentuan ambang batas pengajuan gugatan ke MK sebagaimana Pasal 156.
Pada Pilkada 2020, setidaknya ada 4 putusan MK yang mengabaikan ambang batas, yakni perkara Pilkada Boven Digoel, Nabire, Yalimo, dan Banjarmasin.
Menurutnya, meski dalam beberapa perkara MK mengabaikannya, namun kalau bisa menyusun argumentasi permohonan pelanggaran yang substantif, tidak menutup kemungkinan akan dikabulkan.
Selanjutnya, ketelitian pada persoalan adanya selisih hasil perolehan suara pada setiap TPS atau rekapitulasi pada setiap jenjang rekapitulasi.
“Inventarisir semua laporan atau tindak lanjut dari Bawaslu dalam merespons laporan,” ujarnya.