Berdasarkan asas hukum ini, seharusnya Hakim Praperadilan mengakomodasi permohonan praperadilan Tom Lembong yang telah dilanggar haknya oleh penyidik, yang tidak memberikan penasihat hukum, yang dipilihnya sendiri di awal
penyidikan, dan pada saat Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka.
Karena itu, ungkap Tim Eksaminator, seharusnya Hakim Praperadilan menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka tidak sah, dan melawan hukum, karena tidak dipenuhinya salah satu syarat penting dalam pemenuhan hak untuk mendapatkan penasihat hukum yang dipilih Tom Lembong sendiri.
Tim Eksaminator juga menganggap bahwa Hakim Praperadilan telah salah dalam membuat pertimbangan hukumnya, dengan menyatakan bahwa “Penetapan pemohon sebagai tersangka TIPIKOR dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Termohon adalah sah”.
Sebab, menurut Tim Eksaminator, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka, tidak didasarkan pada bukti permulaan, yakni berupa kepastian hasil penghitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 400 miliar, yang didasarkan hasil audit dari lembaga audit yang berwenang.
Tim Eksaminator juga menganggap, Hakim Praperadilan telah membuat pertimbangan hukum yang keliru di halaman 165 ketika menyatakan bahwa “dalam penghitungan kerugian negara tidak diharuskan adanya bentuk formal terlebih dahulu berupa penghitungan kerugian negara yang final/pasti oleh lembaga tertentu.
Dan cukup menyatakan adanya kerugian keuangan negara yang nyata (telah terjadi/actual loss) dan dapat dihitung. Sebab perhitungan kerugian demikian tidak akan menjadi pasti/final, sampai dengan diuji di persidangan oleh majelis hakim pokok perkara..”
Berdasarkan ketiga argumentasi tersebut di atas, menurut Tim Eksaminator, Hakim Praperadilan telah mengakui bahwa Kejaksaan Agung memang tidak bisa membuktikan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka, dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, tidaklah didasarkan bukti permulaan mengenai kepastian adanya kerugian keuangan Negara, sebagai konsekuensi logis dari delik materiil dari tindak pidana yang disangkakan kepada Tom Lembong.
Karena itu, menurut Tim Eksaminator seharusnya Hakim Praperadilan mengabulkan permohonan Praperadilan Tom Lembong dengan menyatakan penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung, sebagai tidak sah dan melawan hukum dengan segala akibat hukumnya.
Selain itu, perlu menyatakan bahwa apabila penentuan besarnya kerugian Negara dapat juga diketahui diujung pemeriksaan, maka apabila kepastian adanya kerugian keuangan negara ada di ujung akhir penyidikan, maka penetapan tersangkanya juga harus diujung pemeriksaan penyidikan.
Tentu sepanjang unsur lain telah pula lengkap ditemukan alat buktinya. Mengingat delik yang disangkakan adalah delik materiil, maka akibat yang dilarang harus terjadi, yang dengan demikian “kerugian keuangan negara” wajib ditentukan kepastiannya terlebih dahulu, sebelum menetapkan seseorang (atau Pemohon) sebagai tersangka.
Tim Eksaminator juga menganggap Hakim Praperadilan telah keliru dalam membuat pertimbangan hukum bahwa “Hasil Risalah, Hasil Expose Penyidik Bisa Menjadi Petunjuk dan Bukti Surat Bahwa Dari Gelar Perkara Tersebut Ada Kerugian Keuangan “.
Tim Eksaminator juga tidak sependapat dengan pendapat ahli yang dihadirkan Kejaksaan Agung terkait “Berita Acara atau Risalah Hasil Ekspose antara Penyidik dengan Auditor BPKP, yang menerangkan adanya perbuatan melawan hukum, yang mengakibatkan adanya kerugian keuangan Negara, yang ditandatangani oleh Auditor dan Penyidik di bawah sumpah jabatan adalah sah sebagai alat bukti surat berdasarkan Pasal 187 KUHAP, dan menurut Ahli sudah cukup sebagai bukti awal untuk menetapkan tersangka”
“Meskipun Hakim Praperadilan tidak langsung merujuk kepada keterangan ahli mengenai pandangannya tersebut, namun sangat mungkin Hakim Praperadilan mengambil alih atau setidaknya terinspirasi dari pendapat Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh Termohon (Kejaksan Agung) tersebut,” ungkap Tim Eksaminator.
Menurut Tim Eksaminator, risalah hasil expose dalam bentuk tertulis, bukanlah bukti surat untuk menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara, karena risalah tersebut hanya menjelaskan tentang aktifitas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dengan BPKP, tidak lebih dari itu.
Baca juga: Tulis Surat di Peringatan Hari HAM Dunia, Tom Lembong: Saya Rindu Kebebasan yang Dirampas dari Saya
Risalah tersebut bukan merupakan bukti petunjuk yang dimaksud KUHAP, karena menurut Tim Eksaminator, bukti petunjuk adalah bukti yang bersifat indirect (tidak langsung), yang hanya bisa diperoleh dari hasil penilaian oleh Hakim tentang adanya persesuaian antara alat bukti keterangan saksi, surat dengan keterangan terdakwa, dan dalam delik korupsi itu diperluas dengan adanya bukti elektronik.