Tim Eksaminator juga menyoal dasar hukum yang dipakai Penyidik untuk menetapkan Tom Lembong sebaga tersangka, yakni Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan, Kepmenperindag No. 527/Mpp/kep/9/2004 dan Permenperindag No.117 Tahun 2015. Menurut Tim Eksaminator, semua produk hukum tersebut, tidak ada yang mengatur dan menentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
Karena itu, dalam pandangan Tim Eksaminator, penetapan tersangka Tom Lembong bertentangan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menjadi dasar penting dalam persoalan penentuan pidana dan pemidanaan, bahwa: “tiada ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”,
Berikutnya, Tim Eksaminator berpendapat seharusnya Hakim Praperadilan menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agug tidak sah, karena terbukti bahwa Kejaksaan Agung terlambat menyampaikan SPDP kepada Tom Lembong, yaitu telah melebihi tujuh hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan (Sprindik).
Menurut Tim Eksaminator, pertimbangan Hakim Praperadilan dalam perkara a quo yang justru menilai penyidikannya tetap sah meskipun terbukti penyerahan SPDP kepada Pemohon terlambat, hal itu tentu tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari, setelah dikeluarkannya Sprindik.
Berkaitan dengan pertimbangan hukum Hakim Praperadilan yang menilai bahwa penahanan terhadap Tom Lembong sudah sesuai dengan alasan obyektif dan subyektif yang ditentukan KUHAP, menurut Tim Eksaminator perlu dilakukan reinterpretasi yang tepat terhadap interprestasi yang selama ini dilakukan, yaitu sekedar alasan
subyektif Penyidik, yang khawatir bahwa kalau tidak ditahan tersangka akan melarikan diri, menghilangkan bukti atau mengulang tindak pidana.
Kalau itu semata-mata didasarkan penilaian subjektivitas penegak hukum, maka akan menimbulkan discretionary power, sehingga tidak ada ukuran-ukuran yang objektif untuk menilai perlu atau tidaknya melakukan penahanan.
Menurut Tim Eksaminator, alasan objektif penahanan itu lebih ditujukan pada ‘penilaian terhadap subjek hukum’ pelaku tindak pidana.
Hal itu haruslah berdasar alasan-alasan objektif disertai bukti yang cukup, terkait dengan kekhawatiran tersebut. (*)