Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD dapat merugikan kedaulatan rakyat.
Ia mengingatkan, ihwal sistem pemilihan langsung melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diterapkan untuk mengatasi praktik politik uang dan memperkuat representasi masyarakat.
“(Perubahan sistem) dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi di mana terjadi jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh para anggota DPRD,” ujar Titi dalam keterangannya, Sabtu (14/12/2024).
Menurutnya, meskipun pemilihan langsung masih memiliki tantangan seperti dominasi partai politik dalam pencalonan, mengembalikan mekanisme ke DPRD hanya memindahkan persoalan ke ruang tertutup tanpa menyelesaikan akar masalah.
Kedaulatan rakyat, lanjut Titi, makin tersandera dan masyarakat semakin dijauhkan dari urusan publik. Dampaknya bisa menimbulkan ketidakpuasan dan kemarahan politik.
Baca juga: Diawali Konvoi Keliling Jakarta, Pendukung Pram-Doel Rayakan Kemenangan Pilkada Jakarta di Menteng
Titi juga menekankan, seluruh pihak untuk belajar dari Pilkada 2024.
Sebab, dalam proses ini, meskipun rakyat memilih wakilnya secara langsung di eksekutif, tapi tetap saja peran dan pengaruh partai sangat besar dalam pencalonan pilkada.
Hal itu berakibat tingginya suara golput dan juga suara tidak sah karena pemilih merasa tidak terwakili dan kecewa dengan calon-calon yang diusung oleh partai.
“Hal tersebut bisa semakin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung melalui wakil-wakil partai di DPRD. Kedaulatan rakyat makin tersandera dan masyarakat makin tidak punya posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara,” tuturnya.
Karena yang menjadi akar persoalannya ialah buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai yang tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki.
“Kita seolah hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup di DPRD,” ungkap Titi.
Selain itu, Titi mengingatkan, telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XXII/2019 yang menyatakan pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia.
Selain itu, ada pula Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 di mana mahkamah menyatakan Pilkada adalah Pemilu sehingga harus diselenggarakan sesuai dengan asas dan prinsip Pemilu yaitu luber dan jurdil.