Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Bencana gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh tahun 2004 masih menyimpan duka teramat dalam.
Gempa 9,1 SR diikuti tsunami yang membuat lebih dari 200 ribu saudara di Aceh meninggal dunia.
Salah satunya dikenang oleh dokter spesialis paru-paru Prof Tjandra Yoga Aditama.
Ia diterbangkan ke Banda Aceh pasca-beberapa waktu sesudah tsunami menyapu Serambi Mekkah dan sekitarnya, tepatnya awal 2005.
Bersama tim medis dari Kementerian Kesehatan (yang dulu disebut Departemen Kesehatan), Prof Yoga ditugaskan di RSUD Zainoel Abidin, rumah sakit terbesar di Aceh kala itu.
“Ketika itu arahannya adalah agar saya sebagai dokter paru mungkin dapat melakukan kegiatan bronkoskopi untuk membersihkan lumpur tsunami yang masuk ke paru pasien korban,” kenangnya ditulis Kamis (26/12/2024).
Baca juga: Kilas Balik Tsunami Aceh 2004: Kronologi Gelombang Laut Setinggi 30 Meter Renggut 170 Ribu Jiwa
Sayangnya, kondisi rumah sakit tersebut ikut luluh lantah. Sarana prasarana RS tidak bisa digunakan sama sekali.
Semua ruangan penuh lumpur.
Nyaris semua dinding di rumah sakit tampak ada bekas ketinggian air yang masuk, tingginya sekitar 1 meter.
“Hanya ada tiga dokter saat itu. Dr Rusmunandar Direktur RS Zainoel Abidin yang kebetulan teman saya waktu sama-sama bertugas di Puskesmas di Riau pada tahun 1980an, lalu Drg Cut Maulina salah satu pimpinan RS dan seorang Dokter Spesialis Anak,” tutur Ketua Majelis Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) ini.
Di rumah sakit itu, tidak ada lagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Sebagian ada yang meninggal dan sebagian besar berkumpul dengan keluarganya masing-masing.
“Semua terasa berduka saat itu,” ucapnya.
Baca juga: Kaleidoskop: 10 Kasus Polisi di 2024, Bunuh Ibu dan Pelajar hingga Perwira Tiduri Istri Pengusaha
Bagaimana dengan para pasien yang dirawat sebelum terjadi Tsunami?
Prof Tjandra menuturkan, tidak ada pasien sama sekali karena seluruh rumah sakit tertimbun lumpur.
“Kami berkoordinasi dengan TNI dan di kerahkanlah puluhan prajurit untuk membersihkan lumpur itu. Kalau bukan tentara yang turun tangan ketika itu maka tentu tidak ada tenaga yang tersedia untuk kegiatan yang perlu kerja keras mencuci lumpur ini,” ujar Prof Tjandra.
Sesudah RS bersih, dan beberapa petugas kesehatan mulai masuk kerja, maka beberapa kegiatan mulai berjalan. Ketika itu tim kesehatan dari berbagai negara datang ke RS ini.
Di halaman RS ini lalu dipasang tenda kesehatan oleh tim berbagai negara itu.
“Setiap pagi, para tenaga medis dan nakes selalu melakukan koordinasi di salah satu ruang RS yang sudah dapat digunakan,” ungkap dia.
Tepat hari ini, 20 tahun kejadian itu, ia mendoakan semua korban bencana alam besar yang membekas di hati masyarakat Aceh.
Sudah banyak perubahan yang dia rasakan, saat kembali ke Aceh.
Baca juga: Kapal Patroli Singapura Intimidasi Nelayan Batam yang Sedang Cari Ikan di Laut
RS yang dulu menjadi harapan banyak pasien kini tampil dengan kokoh dengan dokter dan perawat yang lengkap.
Selepas bertugas di Aceh, Prof Tjandra menulis buku Masalah Kesehatan Pasca Tsunami di tahun 2005.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama