TRIBUNNEWS.com - Sejumlah pihak ramai-ramai mengkritisi publikasi Organize Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukkan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia tahun 2024.
Banyak yang menilai publikasi tersebut tak kredibel, sebab mengandalkan polling, alih-alih berdasarkan putusan pengadilan atau bukti.
Dirangkum Tribunnews.com, berikut ini pihak-pihak yang mengkritik publikasi OCCRP terkait Jokowi sebagai pemimpin paling korup dunia 2024.
1. Golkar Sebut sebagai Propaganda
Koordinator Koalisi Kader Partai Golkar (KKPG) sekaligus Koordinator Koalisi 40 Ormas/Pemuda untuk Jokowi (KOPI JOKJA), Ahmad Yani Panjaitan, menilai publikasi OCCRP sebagai fitnah dan propaganda.
Sebab, publikasi OCCRP dilakukan tanpa ada data yang akurat maupun bukti valid.
"Sampai detik ini, belum ada satu laporan dan dakwaan yang masuk ke penyidik KPK atau Kejagung soal dugaan korupsi yang dilakukan oleh Presiden ke-7 RI itu. Tapi, mengapa OCCRP bisa membuat rilis tersebut?" kata Ahmad Yani, Rabu (1/1/2025).
Baca juga: Pro-Kontra Jokowi Masuk Daftar Pemimpin Paling Korup 2024 Versi OCCRP, Pengamat Singgung Fitnah
Lebih lanjut, Ahmad Yani menduga kasus dugaan korupsi Jokowi sama seperti Undang-undang Nomor 7/2021 tentang PPN yang awalnya dimotori PDIP.
"Saya menduga case ini hampir mirip UU Nomor 7/2021 tentang PPN yang awalnya dimotori oleh PDIP sehingga PPN jadi naik menjadi 12 persen, tapi yang dikambinghitamkan pemerintahan Prabowo," imbuh dia.
2. Projo Minta Buktikan
Terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Relawan Projo, Handoko, mendesak OCCRP untuk membuktikan tudingan, Jokowi termasuk pemimpin korup.
Ia juga mempersilakan publik untuk melaporkan Jokowi jika memang melakukan korupsi.
"Silakan saja proses hukum jika memang ada data dan fakta. Jangan cuma sekadar omong-omong tanpa bukti," ujar Handoko, Rabu.
Ia menilai publikasi OCCRP sebagai upaya framing jahat terhadap Jokowi.
Selain itu, Handoko juga menyebut publikasi OCCRP merusak marwah bangsa Indonesia.
"Jangan buat framing jahat tanpa dasar. Penilaian seperti ini hanya mencerminkan bias dan tidak menghormati pendapat rakyat Indonesia yang jelas-jelas masih percaya pada Pak Jokowi," urai dia.
Handoko menambahkan, publikasi OCCRP soal pemimpin korup, tak mencerminkan realitas yang dirasakan rakyat Indonesia.
"Itu penilaian yang keliru. Yang mengetahui dan merasakan langsung adalah rakyat Indonesia."
"Tolok ukurnya jelas, hasil pembangunan, penegakan hukum, budaya politik baru, serta harapan masyarakat," pungkasnya.
3. JokMan Tuding Ada Pesanan
Ketua Umum Jokowi Mania (JokMan), Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel, meragukan kredibilitas publikasi OCCRP.
Ia bahkan menyebut hasil OCCRP soal pemimpin korup dunia sebagai penilaian yang ngawur.
"Kredibilitas dan netralitas tim penilai OCCRP sangat meragukan, terbukti dari hasil penilaian mereka yang ngawur."
Baca juga: OCCRP Nyatakan Jokowi Pemimpin Korup 2024, PSI: Kalau Pak Jokowi Korupsi, Rakyat Pasti Tahu
"Apa yang dikorupsi Jokowi?" tanyanya, Rabu.
Noel menyebut, sikap OCCRP tersebut justru melakukan tidak langsung kepada Jokowi dan Indonesia.
Ia bahkan menyebut publikasi OCCRP sebagai pesanan pihak tertentu untuk menyudutkan Jokowi.
"Ketika ada pihak yang berusaha menyerang Indonesia dengan memojokkan mantan pemimpin nasional, kita harus bersatu melawan."
"Ini soal martabat kita sebagai bangsa. Jadi masalah ini tak bisa dianggap remeh," jelasnya.
"Kita pantas mencurigai hasil penilaian OCCRP, karena ada yang mengatakan, OCCRP menarik kesimpulan berdasarkan nomisasi/voting dari pembaca hingga jurnalis dunia."
"Penentuan finalis tergantung masukan publik, pembaca, jurnalis, dan pihak lain relasi OCCRP," tukas Noel.
4. NasDem: OCCRP Tak Bisa Dijadikan Acuan
Politikus NasDem, Irma Surya Chaniago, menyebut OCCRP tak bisa dijadikan acuan, sebab daftar pemimpin dunia paling korup disusun bukan berdasarkan data dan fakta.
Lantaran, kata Irma, OCCRP mengumpulkan nominasi tersebut lewat Google Form yang dibagikan sejak 22 November 2024.
"Yang pertama, lembaga tersebut (OCCRP) merilis (publikasi) berdasarkan polling. Bukan data dan fakta," ujar Irma, Rabu, dilansir Kompas.com.
Ia menganggap daftar itu dibuat karena pemerintahan Jokowi banyak bekerja sama dengan China, musuh Amerika Serikat (AS).
OCCRP, yang berpusat di Amsterdam, Belanda, menerima donatur dari sejumlah negara, termasuk AS.
"Dugaan saya karena Jokowi lebih memilih bekerja sama dengan lawan politik AS, yaitu China."
"Karena, investasi China jauh lebih menguntungkan daripada AS, di mana semua investasi AS selama ini merugikan Indonesia dalam bagi hasil," papar Irma.
Baca juga: KPK Ditantang Usut Laporan OCCRP yang Sebut Jokowi Pemimpin Korup
5. PSI: Itu Suara Barisan Sakit Hati
Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Wakil Ketua Umum DPP, Andy Budiman, berpendapat daftar yang dirilis OCCRP merupakan hasil dari suara barisan sakit hati.
Andy menyebut, publikasi OCCRP merupakan bentuk barisan sakit hati yang gagal move on.
"Itu suara barisan sakit hati. Mereka yang belum bisa move on dari kekalahan di Pilpres."
"Ada jejak digital bahwa OCCRP membuka ke publik untuk menominasikan Corrupt Person of The Year sampai 5 Desember lalu. Jadi ada polling."
"Nah, barisan sakit hati itu yang memobilisasi suara," kata Andy, Rabu (1/1/2025).
Karena hal itu, lanjut Andy, publikasi OCCRP soal Jokowi termasuk pemimpin paling korup dunia tahun 2024, tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Terlebih menurutnya, Jokowi tak pernah memperkaya diri sendiri maupun orang lain secara tak sah.
Tak hanya itu, apabila benar Jokowi korupsi, Andy menilai tingkat kepercayaan publik terhadap ayah tiga anak itu dipastikan anjlok.
"Ini jelas berbeda dengan survei ilmiah dengan pengambilan sampelnya yang sangat cermat untuk menghindari bias," lanjut mantan jurnalis ini.
"Kalau Pak Jokowi korupsi, rakyat pasti tahu dan tingkat kepercayaan anjlok. Rakyat melihat dari dekat kerja Pak Jokowi, tidak ada korupsi," pungkasnya.
6. Praktisi Hukum: Bisa Dikualifikasikan sebagai Fitnah
Akademisi dan Praktisi Hukum, Albert Aries, berpendapat publikasi OCCRP soal pemimpin terkorup dunia 2024, bisa termasuk fitnah.
Ia juga menilai publikasi tersebut bisa dikatakan sebagai penghinaan terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.
"Tuduhan korupsi tanpa dasar hukum dan tidak disertai bukti permulaan yang cukup, atau ‘Trial by NGO’ oleh OCCRP jelas bukan hanya ditujukan terhadap Jokowi, melainkan juga pemerintahan Indonesia," kata dia dalam keterangannya, Rabu.
Meski Albert mengakui ada kekurangan selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, ia menyebut banyak hal baik yang diwariskan suami Iriana itu.
Karena itu, ia menilai OCCRP seolah mengambil peran konstitusional DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan.
"Selama 10 tahun Pemerintahan Jokowi pasti penuh kekurangan, tapi bagaimanapun juga banyak hal baik yang diwariskan Jokowi," ujar Albert.
Aries mengingatkan LSM Asing sebagai bagian dari demokrasi untuk tetap menghormati kedaulatan Indonesia.
Ia meminta LSM Asing agar kembali pada asas hukum internasional "Omnis indemnatus pro innoxio legibus habetur", yaitu setiap orang yang belum pernah terbukti bersalah oleh peradilan yang adil haruslah dianggap tidak bersalah secara hukum.
"Menominasikan Presiden ke-7 RI sebagai tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024 tanpa bukti permulaan yang cukup adalah kejahatan fitnah yang merusak nama baik orang lain."
"Sehingga, publikasi OCCRP itu jelas bertentangan dengan Pasal 19 ayat (3) Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil & Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005," pungkas Albert.
7. Pengamat Politik Singgung Kelemahan Riset OCCRP
Pengamat politik yang juga pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, mengungkapkan segala bentuk tindak kejahatan tidak bisa dibuktikan lewat jajak pendapat.
Hal ini terkait publikasi OCCRP yang memasukkan Jokowi dalam daftar pemimpin terkorup dunia 2024.
Ia menegaskan, pembuktian tindak kejahatan hanya bisa dilakukan lewat sidang di pengadilan.
"Pembuktian kejahatan atau pelanggaran hukum adalah melalui persidangan di pengadilan. Bukan melalui polling atau jajak pendapat," tegas Haidar, Rabu.
Ia menambahkan, hingga saat ini belum ada putusan pengadilan yang memvonis Jokowi telah melakukan tindak korupsi.
Tuduhan kejahatan terorganisasi dalam pilpres untuk memenangkan salah satu paslon juga tidak terbukti di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jika metodologinya benar, seharusnya dewan juri OCCRP tidak meloloskan usulan nama Jokowi."
"Sebab, bagaimana bisa memasukkan nama seseorang ke dalam daftar tersebut sementara tidak ada satu pun putusan pengadilan yang memvonisnya bersalah atas kejahatan yang dituduhkan? Jelas sekali ini merupakan suatu kesalahan yang nyata," urai dia.
Oleh karena itu, predikat yang disematkan OCCRP terhadap Jokowi hanyalah usulan yang tidak berdasar dari para pemegang hak suara dalam polling atau jajak pendapat.
Akibatnya, ujar Haidar, dapat merusak reputasi dan nama baik Jokowi di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia.
"OCCRP harus meralat rilisnya dan meminta maaf kepada Jokowi."
"Jika tidak, OCCRP yang berisi para jurnalis investigasi sama saja dengan mencoreng kredibilitasnya sendiri," tukasnya.
Jokowi: Sekarang Banyak Sekali Fitnah
Menanggapi dirinya masuk daftar pemimpin terkorup dunia tahun 2024 versi OCCRP, Jokowi mendesak agar dibuktikan saja.
Sebab, Jokowi menyebut saat ini banyak sekali fitnah yang ditujukan kepadanya.
"Yang dikorupsi apa. Ya dibuktikan, apa," kata Jokowi di rumahnya di Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa, dikutip dari Kompas.com.
"Ya apa, apalagi? Sekarang kan banyak sekali fitnah, banyak sekali framing jahat."Banyak sekali tuduhan-tuduhan tanpa ada bukti. Itu yang terjadi sekarang kan," imbuh dia.
Sebelumnya, OCCRP merilis daftar pemimpin terkorup dunia tahun 2024.
Ada enam pemimpin dalam daftar tersebut, termasuk Jokowi. Berikut selengkapnya:
- Mantan Presiden Suriah, Bashar Al Assad
- Presiden Kenya, William Ruto
- Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi)
- Presiden Nigeria, Bola Ahmed Tinubu
- Mantan Perdana Menteri (PM) Bangladesh, Sheikh Hasina
- Pengusaha India, Gautam Adani
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Yohanes Liestyo/Muhammad Zulfikar/Milani Resti/Igman Ibrahim, Kompas.com/Fika Nurul Ulya)