News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tata Tertib DPR

Tata Tertib Baru DPR Panen Kritik, Dianggap Melanggar Konstitusi Hingga Kesesatan Berpikir

Penulis: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DPR REVISI TATIB - Pimpinan DPR RI saat memberikan keterangan pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Mereka memberikan keterangan mengenai DPR RI kini bisa mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) panen kritik usai merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib).

Lewat aturan ini, DPR bisa mengevaluasi semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi ini juga dapat berbentuk rekomendasi pemberhentian.

Baca juga: Soal Revisi Tatib DPR: Pejabat Sakit-sakitan Bisa Dievaluasi, Aturan Dinilai Langgar Konstitusi

Dalam tahapannya, aturan ini dikebut DPR karena pembahasan revisi tatib di Badan Legislasi (Baleg) rampung dalam waktu kurang dari 3 jam. Seluruh fraksi partai politik di DPR setuju dan kemudian disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).

Melanggar Konstitusi

Pakar hukum tata negara sekaligus akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti memandang langkah DPR merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) adalah sebuah perbuatan culas.

Ia pun sempat membandingkannya dengan upaya DPR untuk mengubah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang tercatat muncul saat anggota DPR periode 2019 - 2024 menjabat.

Dilansir dari Kompas.com, rencana revisi UU MK yang dimaksud Bivitri ingin mengubah beberapa pokok materi yang sudah ada dalam UU MK saat ini.

Satu di antaranya soal masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga berumur 70 tahun dikembalikan menjadi 5 tahun. 

Untuk hakim yang sedang menjabat, dikembalikan ke lembaga pengusul untuk menentukan nasibnya melalui permintaan konfirmasi.

Selain masa jabatan, usia minimal hakim konstitusi juga dikhawatirkan hendak diubah dari 55 tahun menjadi 60 tahun.

"Ini culas. Mereka mau ubah UU MK buat mengutak-atik MK kita cegah, sekarang mau masuk dari sini (revisi tatib)," kata Bivitri saat dihubungi Tribunnews.com, kemarin.

Ia menjelaskan proses pemilihan hakim dan komisioner masuk aturan main pemilihan, dan bukan pemberian mandat yang bisa dicabut kapan saja.

Begitu sudah dipilih, lanjutnya, maka komisioner atau hakim diatur dalam UU masing-masing misalnya UU MK atau UU KPK.

"Peraturan DPR tidak bisa melanggar UU dan bahkan ini melanggar konstitusi karena susunan, kedudukan, fungsi lembaga-lembaga negara itu diatur dalam UUD," lanjut dia.

Lalu apa yang bisa dilakukan kekuasaan eksekutif dan yudikatif untuk menangkalnya?

Menurut Bivitri hal itu menjadi masalah karena tatib tersebut merupakan peraturan DPR di mana tidak ada keterlibatan eksekutif di dalamnya.

Akan tetapi menurutnya, siapa saja bisa mengajukan pengujian terhadap peraturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

Ia menjelaskan judicial review (uji materi) semua peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang bisa diajukan ke MA. 

Bivitri melanjutkan, hanya judicial review (uji materi) undang-undanglah yang bisa diajukan ke MK.

"Peraturan DPR termasuk peraturan perundang-undangan. Ada di pasal 8 UU (Nomor 12 Tahun 2011) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," pungkas Bivitri.

Baca juga: DPR Revisi Tata Tertib, Berwenang Copot Panglima TNI, Kapolri hingga Ketua KPK?

Kesesatan Berpikir

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyebut mahasiswa hukum semester III pun tahu apa yang salah dari kebijakan baru dalam revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. 

Lewat aturan tatib baru, DPR punya kewenangan untuk mengevaluasi berkala pejabat negara yang menjabat lewat proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test.

Pejabat yang dapat dievaluasi hingga direkomendasikan dicopot antara lain komisioner dan Dewan Pengawas KPK, Hakim MK dan MA, Kapolri, hingga Panglima TNI.

“Ini tidak perlu ketua MKMK yang jawab. Cukup mahasiswa hukum semester III,” kata Palguna saat dihubungi, Rabu (5/2/2025).

Eks Hakim Konstitusi ini mengatakan, ada kesesatan berpikir yang sedang dipraktikkan DPR, karena seolah tidak paham teori hierarki, kekuatan mengikat norma hukum, teori kewenangan dan teori pemisahan kekuasaan. Ia pun mempertanyakan ilmu apa yang dipakai DPR sehingga tatib internal dapat mengikat pihak eksternal.

“Dari mana ilmunya ada tatib bisa mengikat keluar? Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum. Masa DPR tak mengerti teori kewenangan. Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances,” katanya.

Sedangkan jika para legislator Senayan paham teori-teori tersebut tapi tetap memaksakan kebijakan itu, Palguna mengatakan artinya DPR sedang menyusun rencana agar negara diatur oleh hukum yang mereka suka dan mengamankan kepentingan pribadi.

“Atau, jika mereka mengerti tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945) tetapi di atas hukum yg mereka suka dan maui dan mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini bos,” ungkap Palguna.

Baca juga: Revisi Tata Tertib DPR, Akal-akalan Menambah Kewenangan Absurd

Penjelasan DPR

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, membantah isu bisa mencopot pejabat negara yang telah ditetapkan melalui paripurna DPR.

Martin mengatakan, DPR sifatnya hanya bisa memberikan rekomendasi agar pejabat negara yang ditetapkan melalui paripurna dievaluasi jika bermasalah.

"Ya enggak bisa (copot) dong. Tetapi DPR bisa menilai bahwa yang bersangkutan mislanya layak untuk ditinjau kembali gitu lho. Bukan berarti langsung kemudian DPR mencopot," kata Martin di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).

Dia menjelaskan alurnya, yakni komisi terkait bisa memberikan rekomendasi kepada pimpinan DPR agar pejabat yang bersangkutan dievaluasi. Setelahnya, pimpinan DPR menyampaikan kepada pemerintah.

"(Dari) komisi ke pimpinan DPR, memang internal, baru pimpinan DPR nanti menindaklanjuti kepada pemerintah. Jadi bukan DPR mencopot yang bersangkutan, enggak lah," ujar Martin.

Martin menegaskan, semua pejabat negara yang telah ditetapkan melalui paripurna DPR masing-masing memiliki Undang-undang (UU).

"Nanti kan itu kan ada UU-nya masing-masing. Setiap pejabat yang fit and proper itu kan (ada) UU-nya. Kalau KPK ada UU-nya, MK ada UU-nya, apalagi tuh, KY ada UU-Nya. Nah yaitu kembali ke UU-nya. Makanya di Tatib itu dikatakan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku," tegasnya.

Revisi Tatib ini hanya menambah Pasal 228A yang memberi kewenangan bagi DPR untuk mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Dalam ketentuannya, evaluasi dilakukan secara berkala oleh DPR untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan kehormatan lembaga. 

Hasil evaluasi bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi terkait kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.

Berikut bunyi Pasal 228A

(1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 Ayat (2) DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini