TRIBUNNEWS, JAKARTA - Pengacara yang juga praktisi hukum, Maqdir Ismail, mendorong perubahan atau revisi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Maqdir mengusulkan agar penahanan tersangka baru dilakukan setelah pengadilan menjatuhkan vonis.
Hal ini diungkapkannya setelah mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI terkait rancangan KUHAP di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
“Jadi gini ya, ini saya kira satu hal yang harus kita lihat bahwa yang terjadi sekarang ini, proses penahanan itu selalu dilakukan karena ada kekhawatiran dari penyidik (bahwa tersangka) akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan. Kekhawatiran ini sangat subjektif, sehingga menurut saya, ini yang harus dicegah supaya penahanan-penahanan tidak dilakukan dengan alasan adanya kekhawatiran,” kata Maqdir Ismail.
Maqdir berpendapat bahwa penahanan kepada tersangka seharusnya hanya dilakukan terhadap individu yang telah terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
“Oleh karena itu, saya sih berpendapat seperti yang saya sampaikan tadi adalah, penahanan itu sebaiknya dilakukan ketika orang sudah menjalani hukuman. Dalam arti bahwa hanya orang yang sudah dihukum yang boleh ditahan,” kata dia.
Baca juga: Mahfud Sebut Prabowo Bisa Kena Pasal 55 KUHP karena Ampuni Koruptor, Prof Romli Beri Tanggapan
Ia menegaskan perlunya pembatasan penahanan terhadap tersangka, kecuali dalam kondisi khusus.
Misalnya tersangka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap atau sering melakukan tindak pidana (residivis).
“Tetapi kalau seandainya orang-orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak mempunyai tempat tinggal, dan orang yang memang dikenal sebagai orang yang sering berbuat atau melakukan tindak pidana, melakukan kejahatan, memang terhadap hal seperti ini harus dilakukan juga penahanan-penahanan,” imbuhnya.
Maqdir mendesak revisi KUHP karena menilai undang-undang saat ini belum sepenuhnya melindungi hak-hak warga negara.
Ia mencontohkan kasus kliennya yang dibebaskan melalui Peninjauan Kembali (PK) setelah menjalani hukuman selama lebih dari dua tahun.
“Saya ada beberapa orang yang saya tahu dan bahkan pernah ada seorang klien yang dia itu sesudah dihukum, menjalani hukuman, dalam putusan PK, dia dibebaskan. Bayangkan, orang menjalani hukuman, dia dihukum 4 tahun dan menjalani hukumannya itu sudah 2,5 tahun lebih. Baru kemudian keluar putusan PK ketika dia sudah dibebaskan, sesudah menjalani masa remisi dan mendapat remisi dan kemudian mendapat bebas bersyarat,” ungkapnya.
“Hal seperti ini apa yang bisa dia (klien) lakukan, mau menuntut negara? Menuntut negara kan tidak mungkin. Kenapa? Karena biaya untuk menuntut itu sendiri tidak kecil dan yang mendapatkan ganti kerugian itu kan sudah dibatasi oleh ketentuan,” lanjut Maqdir Ismail.
Baca juga: Sidang MK, Ahli Jelaskan Kenapa Hukuman Penjara dalam UU ITE Lebih Berat Dibanding KUHP
Maqdir menilai revisi KUHAP sebagai langkah krusial bagi kepentingan umum.
Ia menegaskan perlunya perubahan dalam aturan penahanan.
“Oleh karena itu menurut saya, menyangkut penahanan ini tidak seharusnya dilakukan sesudah penetapan sebagai tersangka. Tapi penahanan ini baru boleh dilakukan sesudah adanya hukuman dijatuhkan oleh pengadilan,” tegasnya.(Grace Sanny Vania)