Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Dewan Uni Eropa (UE) telah memutus Rusia dari layanan cryptocurrency, sebagai tanggapan atas kekejaman militer Rusia terhadap warga Ukraina.
Dalam pengumuman yang dirilis pada Jumat (8/4/2022), dewan Uni Eropa menyatakan akan menutup celah potensial yang dapat digunakan oleh entitas dan individu Rusia untuk menggunakan aset digital untuk menghindari sanksi Barat.
Dewan Uni Eropa telah menambah sanksi baru ke Rusia yaitu larangan menyediakan layanan aset kripto bernilai tinggi ke negara tersebut.
Baca juga: Amerika Serikat Ancam Boikot Pertemuan G20, Tak Terima Jika Rusia Hadir
Sanksi ini merupakan salah satu dari tiga sanksi keuangan yang diusulkan oleh Komisi Eropa, selain larangan transaksi dan pembekuan aset yang terhubung ke empat bank Rusia, serta larangan memberikan saran dan solusi kepada orang kaya Rusia.
Dikutip dari cointelegraph.com, Minggu (10/4/2022), Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin mengklaim Rusia memiliki aset kripto lebih dari 130 miliar dolar AS. Pada Maret 2022, negara ini juga memiliki simpanan emas senilai 140 miliar dolar AS.
Komisi Eropa memasukan kripto sebagai bagian dari sanksi yang ditargetkan terhadap Rusia dan Belarusia, sebagai tanggapan atas invasi Rusia ke Ukraina.
Sedangkan Amerika Serikat, melalui Departemen Keuangan AS memperingatkan perusahaan serta individu di negaranya agar tidak memfasilitasi transaksi kripto yang bersangkutan dengan warga atau Bank Rusia tertentu.
Sementara itu, anggota Komisi Eropa terus mengisyaratkan adanya kemungkinan aset kripto dijadikan alat untuk menghindari sanksi.
Selain itu, ekspor minyak dan gas dari Rusia ke negara-negara anggota Uni Eropa juga dapat menjadi sumber pendapatan utama Rusia untuk membiayai pasukan militer mereka.
Untuk itu, Dewan Uni Eropa juga menerapkan larangan impor batubara dari Rusia, namun tidak menyebut adanya larangan terhadap minyak dan gas dari Rusia. Kongres AS sendiri, telah meloloskan undang-undang pada Kamis (7/4/2022) kemarin, untuk melarang impor minyak dan gas dari Rusia.
Sanksi Keuangan ke Rusia
Pemerintah Jepang akan mengubah Undang-Undang Valuta Asing dan Perdagangan Luar Negeri untuk membawa pertukaran kripto di bawah lingkup undang-undang yang mengatur bank.
Usulan amandemen ini bertujuan mencegah aset digital digunakan oleh untuk menghindari sanksi keungan.
Baca juga: Tukar Menukar Aset Kripto Bakal Kena Pungutan PPh dan PPN, Berikut Alasan Ditjen Pajak
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Hirokazu Matsuno mengatakan, pemerintah berencana merevisi undang-undang valuta asing dengan memasukkan pertukaran kripto ke dalam undang-undang tersebut.
Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida juga memberikan dukungan terhadap usulan undang-undang tersebut dan menyerukan langkah terkoordinasi dengan pihak Barat dalam menegakan undang-undang baru ini.
Seperti dikutip dari Cointelegraph.com, nantinya di bawah undang-undang valuta asing yang telah direvisi, pertukaran kripto akan diminta memverifikasi dan menandai transaksi yang terkait dengan individu maupun kelompok Rusia yang masuk ke dalam daftar sanksi.
Jepang telah menjatuhkan sanksi keuangan kepada Rusia, atas tindakan mereka yang menginvasi Ukraina.
Badan pengatur keuangan Jepang pada awal bulan ini juga meminta pertukaran kripto untuk membatasi dan mengentikan transaksi akun-akun pengguna asal Rusia.
Dengan adanya amandemen undang-undang ini, akan menjadi kewajiban hukum bagi pertukaran kripto untuk memblokir transaksi yang melibatkan pejabat Rusia yang terkena sanksi, oligarki, bank dan lembaga Rusia lainnya.
Kekhawatiran mengenai potensi Rusia untuk menghindari sanksi menggunakan cryptocurrency meningkat, seiring dengan melonjaknya minat negara itu terhadap pasar kripto.
Walaupun munculnya kabar mengenai kemungkinan aset digital dijadikan sebagai alat untuk menghindari sanksi keuangan telah menjadi topik pembicaraan yang panas.
Namun para ahli telah menolak kekhawatiran ini dan menyebut kabar tersebut sama sekali tidak berdasar.
Baca juga: Cuma di Bawah Brasil, Indonesia di Peringkat Kedua Negara Terdepan Adopsi Kripto
Sanksi keuangan yang diterima Rusia telah memaksa negara ini mencari sistem dan metode pembayaran alternatif untuk mengakses pasar dagang internasional.
Rusia Diblokir dari Sistem SWIFT
Menyusul dikeluarkannya sanksi ekonomi yang ditujukan ke Rusia akibat invasi militernya.
Mengakibatkan sejumlah perbankan Rusia kini diblokir dari sistem transaksi global SWIFT, dengan tujuan untuk melemahkan perekonomian dari negara beruang merah tersebut.
Mengantisipasi terjadinya hal tersebut, Bank sentral Rusia bakal menggunakan Sistem Transfer Pesan Keuangan Bank Rusia (SPFS) sebagai jurus alternatif pengganti pembayaran SWIFT.
Melansir data dari Yahoo Finance, jaringan SPFS besutan Rusia kini telah memiliki lebih dari 399 pengguna, yang sebagian besar didominasi oleh masyarakat Rusia dan Belarusia.
Bahkan belakangan ini Rusia diketahui tengah bernegosiasi dengan pemerintah China untuk bergabung dengan sistem SPFS buatannya.
Baca juga: Amerika Serikat Ancam Boikot Pertemuan G20, Tak Terima Jika Rusia Hadir
Langkah ini diambil Rusia sebagai upaya untuk mempertahankan roda perekonomian wilayahnya.
Menyusul dikeluarnya Rusia dari SWIFT yang membuat nilai rubel jatuh sekitar 30 persen ke rekor terendah terhadap dolar AS di Bursa Efek Moskow.
Sistem yang dikembangkan sejak 2014, sengaja diciptakan sebagai alat transfer atau penukaran uang antara bank Rusia dengan perbankan global.
Meski sistem buatan Rusia ini hanya terhubung dengan 23 bank asing, sementara SWIFT sudah memiliki 11.000 anggota dari perbankan dunia.
Namun gubernur bank sentral Rusia, Elvira Nabiullina yakin bahwa sistem ini dapat sedikit membantu infrastruktur pembayaran di Rusia selama berlangsungnya pemblokiran SWIFT.
“Sejauh ini Sistem internal negara untuk Transfer Pesan Keuangan (SPFS) dapat menggantikan sistem pembayaran internasional SWIFT secara internal,” jelas Elvira Nabiullina.
Selain menerapkan sistem SPFS, pemerintah Rusia juga diketahui tengah menaikkan suku bunga negara menjadi 20 persen serta menutup perdagangan pada Bursa Efek Moskow hingga 5 Maret mendatang.
Meskipun beberapa cara ini belum begitu efektif menggerakan roda perekonomian Rusia, namun Elvira menambah, setidaknya cara ini dapat membendung kerugian Rusia selama berlangsungnya konflik dengan Ukraina.