News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik TikTok Shop

Social Commerce yang Berpotensi Langgar Persaingan Usaha

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Tiktok Shop.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pasar produk UMKM lokal sedang merana. Produk-produk mereka banyak yang tak laku dijual di sejumlah pasar offline, seperti Pasar Tanah Abang.

Membeludaknya produk-produk impor, terutama dari China dipercaya menjadi biang keladinya.

Dengan penjualan online dan harga yang lebih murah membuat produk-produk impor ini semakin digemari.

Baca juga: TikTok Sesalkan Keputusan Pemerintah Larang Social Commerce di Platformnya

Hal ini yang menggerogoti pasar UMKM lokal terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Ternyata fenomena ini menjadi bagian dari perekonomian dunia yang sedang tidak baik-baik saja.

Ekonomi dunia yang pertumbuhannya diprediksi Dana Moneter Internasional (IMF) melambat menjadi 2,9 persen pada 2023.

Bank Indonesia memperkirakan perlambatan Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat pada 2023 sebesar 0,9 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Hal yang sama juga terjadi pada kawasan Eropa dan negara tujuan ekspor lainnya. Disinyalir, pasar produk TPT juga mengalami serbuan impor dari China.

Negeri Tirai Bambu itu mengalami penumpukan persediaan akibat menurunnya permintaan dari Amerika Serikat dan Eropa, sehingga mulai mencari negara pasar baru untuk menampung hasil produksinya, termasuk Indonesia.

Direktorat Jenderal (DItjen) Bea dan Cukai mengakui adanya fenomena serbuan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke dalam negeri.

Hal ini pun tengah menjadi perhatian utama Ditjen Bea Cukai. Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Ditjen Bea Cukai Mohammad Aflah Farobi mengatakan, pihaknya juga sudah menerima laporan dari asosiasi pelaku usaha TPT terkait "banjir" barang impor ilegal ke Tanah Air.

Berdasarkan hasil kajian sementara, Aflah bilang, modus masuknya TPT ilegal ke Indonesia bervariasi. Modus yang paling banyak digunakan ialah impor tanpa menggunakan dokumen sah.

"Mereka juga menggunakan false dokumen," ujarnya.

Singkatnya, masuknya produk-produk impor ilegal itu yang menciptakan dumping di pasar Indonesia.

Dumping sendiri adalah penjualan barang dari luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga di dalam negeri.

Hal itu merupakan tugas atau PR pemerintah di sisi hulu, sementara untuk di hilirnya produk-produk impor ilegal itu masuk melalui platform e-commerce dan social commerce.

Oleh karena itu pemerintah sendiri tengah mengundangkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 yang merupakan Revisi Permendag 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik PMSE).

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Mendag Zulhas) mengatakan, dengan diluncurkannya beleid ini bisa melindungi konsumen dan pelaku usaha.

"Permendag ini merupakan amanat Presiden kepada Kemendag untuk melindungi perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha di dalam negeri," ujar Mendag Zulhas dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (27/9/2023).

"Selama ini kan perkembangan sistem perdagangan di platform cepat makanya kita atur. Kita mengatur bukan melarang," sambung Zulhas.

Ada 6 poin utama yang diatur pemerintah dalam Permendag tersebut.

Berikut adalah rinciannya:

  1. Social commerce tidak boleh melakukan transaksi langsung, tetapi hanya boleh memfasilitasi promosi barang dan jasa.
  2. Penetapan harga minimum sebesar 100 dollar AS per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang ke Indonesia melalui platform e-commerce.
  3. Disediakan produk positive list yaitu daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan cross border langsung masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce.
  4.  Menetapkan syarat khusus bagi pedagang luar negeri pada marketplace dalam negeri. Misalnya, produk makanan diwajibkan untuk memiliki sertifikat halal dan produk kecantikan harus memiliki izin edar kosmetik dari Badan POM.
  5. Larangan marketplace dan social commerce untuk bertindak sebagai produsen. Itu artinya, e-commerce dilarang untuk menjual produk-produk produksi mereka sendiri.
  6. Penguasaan Data oleh PPMSE untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data.

Hanya Untuk Promosi

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyoroti kebijakan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 50/2020 yang melarang aktivitas transaksi social commerce seperti Tiktok Shop.

Platform social commerce asal Tiongkok yang menjual barang murah crossborder menjadi ihwal munculnya persaingan dagang yang tidak sehat.

Pelaku UMKM atau pedagang pasar menjadi kalah saing hingga sulit menutup biaya modal, belum lagi kebutuhan sewa.

Piter mendukung kebijakan pemerintah dalam hal memberikan ketertiban dunia usaha.

“Saya mendukung kebijakan pemerintah membatasi ruang gerak atau bahkan melarang social commerce,” ucap Piter kepada Tribun, Selasa (26/9/2023).

Namun, Dosen Perbanas Institute ini tidak sepemikiran tujuan dari beleid larangan melakukan perniagaan atau transaksi jual beli barang.

Nantinya media sosial hanya diperbolehkan melakukan promosi barang atau jasa, seperti iklan di televisi.

"Mungkin yang membedakan saya dengan pemerintah adalah tujuan pembatasan tersebut,” kata Piter.

Piter menegaskan pedagang tekstil yang disebut menjadi korban dari munculnya aktivitas perdagangan social commerce tidak sepenuhnya benar.

“Sepinya pusat pembelanjaan seperti Tanah Abang disebabkan oleh perubahan lifestyle yang sekarang ini lebih bersifat digital,” ucap dia.

“Masyarakat mulai menikmati berbelanja secara online jadi tidak hanya disebabkan oleh Tiktok Shop tetapi juga oleh bentuk-bentuk belanja online lainnya,” imbuh Piter.

Ketertarikan masyarakat berbelanja secara online antara lain karena lebih mudah, tidak repot, dan juga banyak yang dianggap jauh lebih murah.

Perubahan gaya hidup ini tidak bisa dicegah atau dihindari.

Piter lebih lanjut berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu melarang tetapi perlu membuat regulasi yang lebih bertujuan kepada perlindungan konsumen, menjaga persaingan yg sehat.

“Social commerce sebaiknya dilarang karena tujuannya yang berpotensi melanggar perlindungan konsumen dan persaingan usaha sehat,” paparnya. (Kompas.com/Tribunnews.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini